Pages

Labels

Minggu, 27 Desember 2020

The Art of Forgiveness


The Art of Forgiveness

“In times of universal deceit, telling the truth will be a revolutionary act” -George Orwell

Banyak keteladanan yang bisa diambil dari perjalan hidup nabi Muhammad ï·º, karakter beliau, atau sekedar sikap/tingkah laku nabi. Mungkin kisah ini tak asing lagi bagi kita. Sering kisah dan hikmahnya diperdengarkan oleh para ulama, da'i, dan mubaligh melalui panggung khutbah, tabligh akbar, atau dalam peringatan hari besar Islam. 

Pada tahun 620 Masehi, Nabi bersama Zaid bin Haritsah datang ke Thaif untuk mengajak penduduk Thaif memeluk Islam dan tidak menyembah berhala. Kabilah yang paling berpengaruh di Thaif saat itu adalah Bani Thaqafi dan kedatangan Rasul ditujukan untuk menemui petinggi kabilah tersebut. 

Nabi disambut oleh tiga orang anak pimpinan Bani Thaqafi yaitu Abd Yalail, Mas'ud, dan Khubaib. Namun permintaan Rasulullah ditolak mentah-mentah, salah seorang petinggi kabilah berujar: “Kami hidup turun-temurun di sini. Tiada kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur, serba berkecukupan. Kami tak perlu agamamu. Juga tidak perlu dengan segala ajaranmu. Kami punya Tuhan yang bernama Al-Latta, yang memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah. Dia telah memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan kekayaan yang kami miliki.” 

Mendapat penolakan tersebut Nabi kemudian memohon maaf dan meminta izin untuk undur diri. Petinggi kabilah menjawab dengan memberikan ultimatum dan tiada penghormatan kepada Nabi, sembari mengancam akan melaporkannya kepada Bani Quraisy di Kota Mekkah. Di luar rumah pemimpin kabilah sekumpulan penduduk Thaif menghadang Nabi dan Zaid dan memerintahkan anak-anak kota Thaif untuk melempar mereka hingga terluka. Selain melakukan penganiayaan, penduduk Thaif yang menghadang Nabi juga menyerang nabi secara verbal dengan makian dan ejekan agar Nabi dan Zaid tidak kembali lagi ke Thaif.

Setelah keluar dari kota Thaif, Nabi Muhammad ï·º hampir rubuh namun dapat meneruskan perjalanan dan beristirahat disebuah perkebunan milik 'Utbah bin Rabi'ah. Pemilik kebun yang melihat nabi dan Zaid dipersekusi kemudian bersimpati dan menolong mereka sampai kembali pulih untuk melanjutkan perjalan pulang ke Mekkah. 

Dalam keadaan terluka, nabi kemudian berdo'a: “Allahumma ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan diriku? Kepada orang jauh yang berwajah muram kepadaku? atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Aku tidak peduli selama Engkau tidak murka kepadaku. Sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat. Janganlah Engkau timpakan kemurkaan-Mu kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya kecuali dengan Engkau.”

Allah SWT kemudian mengutus Jibril untuk menghampiri beliau. Jibril menawarkan kepada Nabi Muhammad untuk memberikan hukuman kepada penduduk Thaif dengan disiapkannya gunung-gunung untuk ditimpakan atau hukuman lain yang diinginkan Rasulullah ï·º.

Setelah mendapatkan hinaan dan kekerasan, kemudian mendapat tawaran luar biasa dari Jibril, apa jawaban Rasulullah ï·º? Ia malah terkejut dengan tawaran tersebut, lalu menjawab Jibril, “Walaupun orang-orang ini tidak menerima, tidak mengapa. Aku berharap dengan kehendak Allah, anak-anak mereka pada suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.”

Begitulah kisah singkat di masa-masa awal dakwah Rasulullah ï·º, khususnya upaya beliau berdakwah kepada penduduk Thaif. Dari kisah tersebut ada keteladanan luar biasa. Secara singkat kita mungkin bisa mengambil kesimpulan bagaimana kesabaran dan ketabahan Rasulullah ï·º dalam menyampaikan dakwahnya, serta jiwa pemaaf yang dimiliki oleh Rasulullah bahkan kepada orang-orang yang telah dzalim dan melakukan persekusi secara verbal maupun fisik kepada dirinya.

Sekalipun rasul diberikan otoritas untuk membalas, ternyata beliau lebih memilih untuk optimis dan berharap suatu saat keturunan penduduk Thaif beriman kepada Allah SWT. Di lain kesempatan tetapi masih dalam konteks yang sama pernah juga Rasulullah ï·º "jangan marah bagimu surga."

Memaafkan bukan bentuk kelemahan atau inferiority. Ada dua kasus yang mirip, di mana seseorang diberikan otoritas untuk menghakimi atau sekurang-kurangnya membenci namun kemaafan lahir dari kedua personal itu. Dalam sejarah tercatat titik awal ekspansi bangsa Turki ke Asia minor (Anatolia, Turki modern) adalah pertempuran Manzikert antara Byzantium (Romawi Timur) dan Seljuk. Pertempuran major tersebut berakhir dengan kekalahan telak Byzantium dan tertawannya kaisar Romanos IV Konstantine oleh Sultan Seljuk, Muhammad bin Dawud Chagri atau lebih dikenal dengan julukan Alp Arslan. 

Arslan bertanya kepada Romanos IV: "apa yang akan kau lakukan bila aku yang dibawa kepadamu sebagai tawanan?" Romanos IV menjawab, "Mungkin aku akan membunuhmu dan memamerkan kepalamu di jalanan Konstantinopel." Lantas Arslan kemudian menjawab "hukumanku jauh lebih berat. Aku memaafkanmu dan memberikan kebebasan kepadamu." Mengingat rivalitas antara Byzantium dan Seljuk sebelum pertempuran Manzikert itu, reaksi Arslan mengejutkan. Kalaupun tidak menghukum langsung, bisa saja Arslan meminta ransum kepada keluarga Romanos IV sang kaisar kaya raya Byzantium, tetapi sebaliknya dia malah memperlakukan dengan baik dan membebaskan Romanos IV tanpa syarat.

Kisah lainnya yang menarik. Di tahun 2017, seorang ayah bernama Abdul Mounim Jitmoud, memaafkan dan memeluk pembunuh anaknya sebelum pembacaan dakwaan di pengadilan Kentucky, USA. Jitmoud menjelaskan alasannya karena "forgiveness is the greatest gift of charity in Islam.” Saat di mana dia memiliki peluang untuk sekedar membenci pembunuh anaknya, terlebih mengharukan sukacita keadilan yang didapatkannya, tuan Jitmoud sebaliknya memilih untuk memaafkan. 

Selain kemaafan. Ada hikmah lain yang dapat diambil dari keteladanan Rasulullah ï·º ketika mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari penduduk Thaif. Dari kasus tersebut saya pribadi berpendapat, kondisi sosial-kultural Mekah dan sekitarnya belum acceptive kepada seruan ketauhidan dan ajaran Islam. Kebanyakan dari mereka merasa mapan dengan tradisi dan tuhan-tuhan lama yang telah turun-temurun dianutnya. Kehadiran seruan tauhid dan nilai keIslaman seakan menjadi asing bagi mereka. Dalam hal ini, Rasulullah ï·º tetap gigih untuk menyampaikan kebenaran dan sabar menghadapi segala bentuk penolakan. Namun, tercatat dalam sejarah tidak semua situasi disikapi dengan reaksi persuasif dan kesabaran. Semenjak hijrah praktis segala bentuk persekusi dan perampasan aset milik kaum muslimin di Mekah mulai disikapi berbeda.

Menurut saya situasi di dekade kedua abad ke-20 ini, kaum muslimin kembali berada pada posisi inferior, baik secara global maupun khususnya di Indonesia. Kita menyaksikan secara nyata sebagian negara mayoritas muslim lebih memilih melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan pendudukan Israel dan membuat kerjasama ekonomi bersama Israel dalam sengketa Mediterania Timur, ketimbang membuka blokade ekonomi terhadap Qatar. Juga kita saksikan sebagian negara mayoritas muslim melakukan boikot diam-diam terhadap kebab Turki, dan menggantikannya dengan Burger Yunani. 

Di Indonesia, hal anomali lainnya dapat kita temukan dalam hubungan intrareligius muslim di tengah masyarakat. Sebagai contoh sekitar seminggu yang lalu, hanya karena ucapan milad kepada seorang pengusaha, sebagian masyarakat sampai menyerukan boikot kepada produk jasa pengusaha tersebut. Padahal di tengah pandemi seharusnya dapat saling bahu, solid, untuk dapat memulihkan perekonomian, tetapi bagi sebagian orang hal tersebut lebih penting ketimbang mengikuti seruan boikot produk Prancis. Beberapa indikasi serupa menyebabkan saya berkesimpulan bahwa telah terjadi pergeseran nilai. 

Pendapat saya, dalam situasi sekarang nilai-nilai Islam luhur kembali kepada keterasingan, baik secara global maupun nasional. Stigma, perpecahan, konflik, dan Islamophobia global semakin merumitkan kondisi. Tak jarang di banyak tempat kita dengar ketidakadilan dan bahkan bagi sebagian orang mengalami persekusi. Ketika dalam situasi rumit ini, ada satu kekuatan yang akan melampaui tindakan injustice dan persekusi, yaitu kemaafan. Sebagaimana teladan Rasulullah ï·º berikan pada kaum muslimin, dengan kemaafan akan menegasikan segala "ketidakadilan yang disukai" oleh mayoritas orang. Ingatlah satu nasehat nabi Muhammad ï·º "jangan marah, jangan marah, bagimu surga."



Untuk my Sonshine "Affan Lafiza Akmal"

Tembilahan, 27 Desember 2020.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Sekularisme

Sederhananya sekularisme merupakan bentuk pemikiran yang memisahkan antara aspek keagamaan dan realitas kehidupan dunia. Syed Naquib al-Attas (1978) berpendapat bahwa sekularisme terdiri dari beberapa unsur yaitu “Menyakini kekuatan akal dalam membimbingnya mengarungi kehidupan; kepercayaan terhadap dualisme, mengenai realitas dan kebenaran; penegasan akan sisi fana kehidupan sebagai realitas yang memancarkan pandangan alam (worldview); menerima humanisme; kepercayaan yang mutlak akan peranan manusia dalam dunia.”

Dalam perspektif sejarah sekularisme lahir atas kevakuman dan kemandegan perkembangan ilmu pengetahuan dan rasionalitas peradaban barat akibat pengaruh dogmatisasi gereja selama abad kelima sampai lebih kurang abad kelima belas masehi. Sintesa dari masa kegelapan (the dark ages of europe) ini membawa peradaban barat kepada “renaissance” atau “rebirth” untuk kembali kepada falsafah materialistik yunani dan romawi kuno. Di lain sisi semangat renaissance ini juga hadir atas hegemoni Islam yang mulai mendominasi dunia baik secara politik (Turki Usmani, Mameluk) selama Perang Salib sampai penaklukan Romawi timur dan kerajaan-kerajaan di wilayah Balkan; Andalusia di selatan Iberia; dan ketertingglan secara ilmu pengetahuan. Sehingga istilah “reconquesta” (penaklukan kembali) juga sepaket dengan semangat renaissance.

Perbedaan mendasar antara barat dan Islam dalam memandang falsafah dan ilmu pengetahuan adalah peran dari sisi ketuhanan dalam kehidupan. Worldview barat menekankan pada aspek antroposentrik dan materialistik yang menihilkan kehadiran tuhan dalam fenomena alam semesta. Dengan demikian manusia tidak lagi menganggap alam sebagai sesuatu kejadian yang suci, sehingga membolehkan manusia untuk bertindak bebas terhadap alam dan memanfaatkannya mengikuti selera keperluan dan rancangannya.

Sebaliknya cara pandang falsafah ilmu Islam menekankan kepada aspek ketuhanan bahwa tiap-tiap fenomena alam semesta dan realitas kehidupan manusia merupakan bentuk kebesaran dan kuasa dari Allah SWT (buka Ayat 164, al-Baqarah). Manusia diserukan untuk dapat berlaku adil dalam menjaga dan memanfaatkan alam semesta, bukan merusak atau atau mengeksploitasinya.

Singkat kata, sebagai efek dari penjajahan dunia timur selama abad ke17 sampai abad 20 berbanding lurus dengan westernisasi yang membawa sekularisme dan liberalisme. Syed Naquib al-Attas (1978) mengkritisi perilaku cendekiawan muslim yang berlomba-lomba mengadopsi pemikiran sekuler dan liberal serta mengajukan justifikasi dari dalil-dalil Islam. Al-Attas memformulasikan jalan keluar atas dilema ini dengan menyerukan lagi secara ilmiah dan matang untuk kembali kepada asas worldview Islam yang kokoh, serta menjadi alternatif atas dalam mengatasi dampak destruktif dari pengaruh westernisasi. Perrlu dicatat, sejarah menuliskan bahwa Islam dan teosentrik ilmu pengetahuannya pernah membawa suatu masyarakat yang terbelakang menjadi tercerahkan dan mendominasi peradaban dunia di masanya. Sebaliknya dogmatisasi gereja katolik malah membawa kemunduran Eropa pada masa kegelapan dan mensintesa peradaban barat dengan sekularisme.
.
Namun pada masa kini, marilah saya dan kita semua bercermin, apakah ketinggian nilai Islam itu setara dengan pribadi kita? Apakah hukum Allah dan perintah Rasulnya masih menjadi dasar dalam menjalani kehidupan? Masih banyak terjebak dalam perbedaan khilafiyah, furu’iyah, dsb. Mari bercermin dan memulai berbenah mulai dari diri sendiri. Wallahua'lam.

Senin, 14 Mei 2018

A Short Introduction of Economic History



Pada awal abad ke-19 sejarah politik mulai dominan dengan Leopold Von Ranke sebagai sejarawan yang menonjol masa itu. Ranke memang tidak menolak mentah-mentah sejarah sosial, tapi buku-bukunya pada umumnya mencerminkan hal ini. Kurang diminatinya sejarah sosial pada masa itu disebabkan beberapa alasan. Pertama, pada periode ini pemerintahan di Eropa mulai memandang sejarah sebagai alat untuk meningkatkan persatuan bangsa, pendidikan kewarganegaraan. Ketika Jerman dan Italia baru berdiri dan negara yang lebih tua seperti Perancis dan Spanyol masih terjebak oleh primordialisme, pengajaran sejarah nasional di sekolah dan universitas mendorong terciptanya integrasi sejarah dan politik. Kedua, revolusi kesejarahan yang terkait dengan Ranke adalah sebuah revolusi tentang sumber dan metode, yaitu suatu perubahan dari penggunaan sejarah lama atau kronik ke penggunaan arsip resmi pemerintah. Sejarawan mulai secara teratur menggeluti arsip dan mengembangkan teknik-teknik yang lebih baik untuk menilai keterandalan (reliabilitas) dari dokumen. Dengan ini mereka berpendapat penulisan sejarah mereka lebih objektif dan ilmiah dibandingkan yang dibuat oleh pendahulu mereka (Burke, 1986).
Pada akhir abad ke-19, sejumlah sejarawan berpandangan berbeda dengan aliran Ranke, salah satu pengkritik paling vocal adalah Karl Lamprecht yang mengkritik lembaga sejarah Jerman yang terlalu menitik beratkan pada politik dan orang-orang besar saja. Sejarah menurut Lamprecht utamanya adalah ilmu psikologi sosial. Pendekatan psikologi inilah yang dia terapkan dalam History of German. Selain itu Otto Hintze menyatakan jenis sejarah yang dibuat oleh Lamprecht lebih maju dari pada aliran Ranke, oleh Hintze menyampaikan kita ingin mengetahui tidak hanya gugus dan puncak gunung melainkan juga kaki gunungnya, tidak hanya tinggi dan dalamnya daratan melainkan keseluruhan benuanya.
Di Prancis tahun 1920-an adalah era gerakan sejarah jenis baru, yang dipimpin oleh dua guru besar Universitas Strasbourg, March Bloch dan Lucien Favre. Jurnal yang mereka terbitkan Annales d’Histoire Economique et Sociale, mengkritik tajam sejarah tradisional dan dominasi sejarah politik, keinginan mereka ialah mengganti sejarah politik dengan sejarah yang lebih luas dan manusiawi, suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat kepada penceritaan disbanding analisis struktur, sebuah istilah yang menjadi favorit sejarawan Perancis dengan julukan Mazhab Annales.
Pada tahun 1960-an, buku-buku sejarah dengan pendekatan sosial banyak diterbitkan semisal Political Systems of Empires, karya Samuel Eisenstadt (1963), The First New Nation, karya Seymour M. Lipset (1963), The Vendee oleh Charles Tilly (1964), Social Origins of Dictatorship and Democracy oleh Barrington Moore (1966), dan Peasant Wars oleh Eric Wolf (1969), semuanya menyuarakan dan mendorong kesamaan tujuan antara teorisasi dan sejarawan sosial. Selanjutnya sampai dua puluh tahun kemudian kecendrungan ini terus berlanjut. Semakin banyak antropolog sosial, terutama Clifford Geertz dan Marshal Sahlins memasukkan dimensi sejarah dalam kajian-kajiannya. Sekelompok sosiolog Inggris, utamanya Ernest Gellner, John Hall, dan Michael Mann, telah menghidupkan kembali proyek abad ke-18 mengenai sejarah filsafat Adam Smith, Karl Marx, dan Max Webber, yang tujuannya adalah untuk membedakan berbagai tipe masyarakat serta menjelaskan proses peralihan dari suatu tipe ke tipe yang lain. Istilah “sosiologi sejarah’, “antropologi sejarah’, “geografi sejarah’, dan “ekonomi sejarah” mulai lazim dipakai untuk menunjukkan adopsinya sejarah ke dalam disiplin-disiplin ilmu ini dan diadopsinya disiplin ilmu ini ke dalam ilmu sejarah.
Sebagaimana yang terjadi di Eropa, transformasi penulisan sejarah di Indonesia pun awalnya didominasi oleh sejarah politik, sejarah difungsikan sebagai medium pendidikan kewarganegaraan, pengokohan nasionalisme, dan pencarian identitas ke-Indonesiaan. Sejarah kemudian hadir dan diadopsi menjadi bagian dalam kurikulum pendidikan nasional sampai hari ini.
Persepsi umum terhadap mata pelajaran Sejarah, dianggap  mata  pelajaran  yang tidak menarik, membosankan, sulit dan lain-lain yang menunjukkan sebenarnya siswa tidak menyukai pelajaran itu. Keadaan ini dapat diperparah jika guru yang mengajarkannya  monoton,   terlalu   teoretis,   dan   abstrak,   kurangnya   buku ajar, ditambah kurikulum yang selalu berubah (Hasan, 2011). Sebagai contoh adalah ada jarak yang relatif jauh antara materi pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan realitas yang dihadapi siswa di masyarakat. Teori-teori yang di ajarkan oleh guru pelajaran sejarah kadang tidak tepat atau malah berbeda  dengan  yang  dihadapi  siswa dalam realitas masyarakat. Hal ini yang kadang membuat siswa tidak suka dengan pelajaran sejarah karena cenderung hanya hafalan dan tidak aplikatif (Amin, 2011).
Selain itu sejarah dalam pandangan masyarakat awan masih identik dengan politik masa lalu. Secara konten, sejarah yang disajikan kepada masyarakat melalui kurikulum pendidikan sejarah sebagian besar hanya membahas seputar politik, kekuasaan, dan revolusi. Padahal apa yang dimaksud dari sejarah dan ruang lingkup sejarah itu luas cakupannya, sejarah dapat merambah ke berbagai aspek dan bidang dalam kehidupan manusia. 
Konsepsi Sejarah Ekonomi
Sejarah ekonomi telah didefinisikan dalam berbagai perspektif, tidak ada definisi tunggal. Elias Tuma (1971) misalnya mengutip penjelasan Tawney, mengemukakan perhatian sejarawan ekonomi pada usaha manusia memperoleh income dalam sumber daya terbatas, pengelompokan-pengelompokan sosial yang muncul darinya, dan masalah-masalah yang menyertainya. Daftar definisi masih bias diperpanjang karena setiap sarjana atau generasi sarjana dalam cara pandang yang dianggap paling sesuai menurutnya. Anton Haryono (2011) menambahkan bahwa peran sejarawan lebih lanjut adalah memperluas serangkaian penelitian dari pengalaman suatu generasi atau masyarakat tertentu ke pengalaman umat manusia. Definisi yang lebih baru memahami sejarah ekonomi sebagai bidang penelitian dasar untuk menganalisis seluruh proses perkembangan ekonomi, menyajikan fakta-fakta empiris yang jauh lebih beragam dari pada hasil kerja lapangan satu zaman, sekaligus dapat menjadi sumber bagi konsep-konsep dan dasar untuk menguji hipotesis-hipotesis.
Menurut Barry E. Supple, sejarah ekonomi  adalah studi tentang usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan terkait barang dan jasa, institusi-institusi, dan hubungan yang muncul darinya, perubahan teknik dan pandangan sehubungan dengan usaha ekonominya. Sementara itu, W.J. Ashley merangkum suatu cakupan tentang basis material kehidupan sosial, cara kebutuhan dan perlengkapan hidup yang dihasilkan, institusi distribusi, perubahan-perubahan dalam metode pertanian, industri, perdagangan dan usaha untuk melacak perkembangan (Kuntowijoyo, 2003).
Elias Tuma (1971) menyatakan bahwa sebaiknya konsepsi sejarah ekonomi haruslah bersifat umum, lengkap, operasional, dapat diukur, dan relevan bagi masalah-masalah yang dipelajarinya. Konsepsi sejarah yang memenuhi kualifikasi ini bisa didasarkan pada perubahan ekonomi, sehingga problem utamanya adalah analisis perubahan. Menurut konsepsi ini, studi sejarah ekonomi merupakan suatu analisis kuantitatif dan/atau kualitatif tentang perubahan ekonomi tertentu; meliputi observasi dan identifikasi perubahan; perincian indikator-indikator, seleksi, klasifikasi, dan analisis data; serta upaya menarik kesimpulan tentang sebab-akibat perubahan ekonomi.
Mengenai masalah dasar yang kemudian di analisis sejarah ekonomi, Elias Tuma (1971) berpendapat bahwa berkaitan dengan interpretasi kausal dan generalisasi. Asumsi yang mendasari interpretasi kausal adalah bahwa setiap kejadian disebabkan oleh kejadian lain atau rangkaian kejadian. Sejarawan masuk ke dalam studi tentang kausalitas dalam pengertiannya paling luas, mempertanyakan hubungan antara sebab – akibat, terutama dalam situasi kompleks perilaku manusia.
Perubahan sebagai Fokus Studi
Segala sesuatu di dunia ini selalu mengalami perubahan. Dalam bidang politik dan kekuasaan misalnya mengenal revolusi dan evolusi dalam perubahannya, maka bidang ekonomi juga mengenalnya. Anton Haryono (2011) mengandaikan pengaruh revolusi industri terhadap kehidupan manusia dan perekonomian pun tidak kalah mendasar dengan pengaruh Revolusi Prancis terhadap kehidupan politik dan kenegaraan. Sebelum sampai pada masa revolusi industri yang serba uang dan pasar, jauh di masa lampau terdapat sistem perekonomian pra-pasar yang relative amat sederhana.
Terkait perubahan pola perekonomian juga nampak dalam karya John Hicks (1969) yang menjelaskan tentang hubungan antara variabel-variabel dalam perekonomian yang interaksinya secara berangsur angsur-angsur menghasilkan perubahan terus-menerus (continuation theory). Joseph Schumpter (1949) misalnya kemudian melihat perubahan ekonomi ini sebagai respon kreatif dari sebuah fenomena yang berpengaruh terhadap usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan, atau sebaliknya respon kreatif dari manusia dalam pemenuhan kebutuhannya menghadirkan sebuah perubahan terhadap perekonomian. Namun konteks perubahan ini bukan sekedar peningkatan atau kemunduran, lebih jauh Elias Tuma (1971) juga menganggap bahwa stagnansi juga sama pentingnya dengan peningkatan atau kemunduran, karena hal ini merupakan masalah yang perlu dipecahkan. Dalam studi sejarah sendiri perubahan adalah suatu hal yang tak asing, di mana kemudian perubahan-perubahan ini disusun secara naratif dalam bentuk kronologi dan periodesasi yang runut, untuk memperlihatkan ada sebuah proses perubahan yang terjadi dalam objek atau topik sejarah tertentu.
Dalam bidang ilmu ekonomi sendiri, terutama cabangnya ekonomi pembangunan, hal-hal yang berkaitan dengan perubahan ekonomi juga dikaji dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang (Supardi, 2011). 
Indikator Perubahan Ekonomi
Dalam menyusun mengukur perubahan dibutuhkan alat ukur atau tolak ukur. Dalam perspektif sejarah ekonomi, Elias Tuma (1971) mengemukakan dua indikator yang dapat diamati, yakni indikator primer dan sekunder. Pertanyaan tentang akibat dari perilaku ekonomi memerlukan studi tentang indikator-indikator primer, misalnya distribusi pendapatan dapat berubah karena program-program pemerintah. Sedangkan untuk menjelaskan lebih jauh mengapa program pemerintah dapat mempengaruhi distribusi pendapatan dijelaskan melalui indikator sekunder.
Indikator sekunder membutuhkan teori lebih lanjut yang relevan dalam menjelaskan sebuah perubahan, misalnya untuk memperkirakan perubahan pada sektor investasi karena perubahan suku bunga, memerlukan pengetahuan tentang suku bunga dan investasi. Indikator sekunder diperlukan untuk menjelaskan perubahan, sementara itu indikator primer untuk mengukur, mengenali, dan mendeskripsikan perubahan (Haryono, 2011). Indikator primer bersifat lebih deskriptif dan indikator sekunder lebih analitik. Dalam hal ini sejarawan harus menggunakan teori-teori ekonomi yang relevan dalam menginterpretasikan data-data yang ada.
Selain itu studi tentang institusi-institusi ekonomi dalam mengukur perubahan ekonomi juga dapat dikategorikan sebagai indikator sekunder. Memakai institusi sebagai indikator sekunder perubahan ekonomi merupakan pengakuan atas kemampuannya dalam mengatur perilaku ekonomi (Haryono, 2011). Contohnya, perubahan dalam institusi kredit dapat menyebabkan perubahan tingkat produksi dan kemakmuran; perubahan dalam institusi persaingan mungkin sekali membawa perubahan dalam efisiensi, produktivitas, dan distribusi. Oleh karena itu sejarawan ekonomi dapat pula memulai studinya dengan memperhatikan institusi-institusi ekonomi yang ada dan kemudian mengamati perubahan yang terjadi terhadap akibat-akibat ekonomisnya.
Ukuran Perubahan dan Standarisasi Data
Ukuran akan mudah dipahami bila data bersifat kuantitatif. Data kuantitatif memiliki banyak keuntungan, yakni mengurangi ambiguitas komunikasi, memungkinkan bagi ketelitian, dan memberikan kesimpulan statistik secara tetap. Namun biasanya sejarawan ekonomi dapat menemui kesulitan dalam hal ketidakterjangkauan, ketidaktetapan, dan ketidakhitungan data. Oleh karena itu sebaiknya dibutuhkan standarisasi data agar data konsisten dan seragam. Bila menghadapi kendala-kendala itu, Tuma (1971) menjelaskan, (1) untuk memecahkan masalah ketidakterjangkauan dengan memperkirakan data yang tidak tersedia berdasarkan data yang lain, (2) masalah ketidaktetapan berhubungan dengan perbedaan nilai dan konsepsi antara periode satu dengan periode lainnya., (3)ntuk ketidakhitungan yang biasanya informasi dari periode-periode awal tidak berupa data kuantitatif, kemudian akan dikuantifikasikan dengan nilai bayangan (Haryono, 2011).
Seleksi dan Klasifikasi Data
Melakukan pemilahan terhadap data merupakan salah satu tahap dalam penelitian. Elias Tuma (1971) memberikan rekomendasi bahwa teori-teori ekonomi dan statistik akan sangat membantu dalam menjelaskan konsep-konsep dan hubungan yang digambarkan dalam data. Sebelum tahap ini dilakukan terlebih dahul sudah dilakukan standarisasi data.
Klasifikasi merupakan langkah penting untuk perbandingan, kesimpulan dan pengajuan hipotesis. Langkah ini meliputi pengelompokan data dalam kategori-kategori yang didasarkan pada arti, fngsi, dan ciri-ciri fisik. Klasifikasi menyatakan pemahaman terhadap basis konseptual data dan pengetahuan lengkap tentang problem studi. Namun klasifikasi tidak dapat dipisahkan dari analisis dan pelaporan data karena skema konseptual atau kerangka teoretik klasifikasi harus sama seperti yang dipakai dalam analisis.
Kerangka Konseptual dan Eksplanasi Perubahan
Kerangka konseptual mungkin tidak begitu mendesak bagi sejarah deskriptif, karena hanya menggambarkan keadaan yang ada, atau lebih berurusan kepada masalah “apa yang terjadi” dan sampai pada batas tertentu dengan “bagaimana hal itu terjadi”.  Namun bagi sejarah analitis, kerangka konseptual adalah hal mendasar. Kebutuhan pertama bagi analisis yang penuh makna adalah kerangka konseptual, yakni seperangkat konsep yang berfungsi untuk menentukan kategori-kategori dan untuk mengenali hubungan-hubungan yang relevan dengan pokok persoalan yang sedang dipelajari. Kerangka konseptual melayani dua fungsi, yaitu fungsi definisi untuk konsistensi dan kemudahan komunikasi serta fungsi penjelas untuk menerangkan tentang sebuah fenomena (Haryono, 2011). 

Minggu, 17 Desember 2017

Nasionalisasi Perkebunan di Indonesia


Di awal mula kedatangan pedagang Belanda melalui kongsi dagangnya VOC. Perkebunan yang dikembangkan oleh VOC bekerja sama dengan otoritas lokal (sultan, raja, bupati) untuk mengembangkan kebun rempah di Maluku dan perkebunan tebu di Jawa pada abad ke-17. Dan dalam praktik perdagangannya VOC memonopoli semua produk komoditas perkebunan yang ada, dan dijual ulang di pasaran Eropa.
Setelah bangkrutnya VOC dan terjadi peralihan kekuasaan kolonial kepada Pemerintahan Kolonial Belanda, perkebunan industri mulai dikembangkan dengan kebijakan cultuur stelsel (1830-1870), yang secara harafiah diartikan sebagai ‘budaya penanaman’, dalam terminologi sejarah nasionalistik sering kita sebut dengan istilah ‘tanam paksa’. Di mana setiap pemilik lahan dan para petani diwajibkan untuk menanam tanaman industri serta komoditas yang laku dijual di pasaran, jenis tanaman yang diwajibkan adalah tebu, tembakau, dan tanaman yang bernilai sebagai basis ekonomi produksi.
Kebijakan ekonomi nusantara kembali berubah sejak tahun 1870, di mana arus liberalisasi masuk kepada parlemen Kerajaan Belanda dan arah kebijakan terhadap daerah kolonial pun mengalami perubahan. Perekonomian yang awalnya dilaksanakan dan dikendalikan penuh oleh Negara sejak 1830, kemudian beralih haluan dengan liberalisasi ekonomi memberikan ruang kebebasan kepada pihak swasta dari berbagai suku bangsa Eropa (tidak hanya Belanda) untuk berinvestasi di nusantara. Pada masa ini daerah perkebunan, industri perkebunan, serta industry lainnya berkembang dalam jumlah besar dan telah merambah ke luar Jawa terutama Sumatera dan Kalimantan. Periode ini berlangsung sampai kedatangan Jepang.
Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, industri perkebunan tersebut dikelola oleh pemerintah Indonesia melalui nasionalisasi. Nasionalisasi berlangsung melalui proses politik, hukum dan ekonomi. Embrio nasionalisasi adalah "Indonesianisasi". Hal ini berawal dari proses politik peralihan kekuasaan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian berpengaruh kepada aspek ekonomi dan hukum.
John Sutter mengatakan bahwa ada enam bentuk proses Indonesianisasi, yaitu: (1) pendirian perusahaan baru di sektor yang sebelumnya ditutup untuk masyarakat Indonesia; (2) transfer aset yang sebelumnya milik perusahaan swasta kolonial ke pemerintah Indonesia; (3) pembentukan BUMN; (4) meningkatnya kontrol pemerintah terhadap bisnis milik orang asing; (5) meningkatnya partisipasi masyarakat Indonesia dalam pengelolaan perusahaan yang sebelumnya didominasi oleh pekerja asing; (6) transisi kepemilikan perusahaan dari asing ke pemerintah Indonesia. Wasino menambahkan, (7) meningkatnya kepemilikan saham masyarakat Indonesia di perusahaan yang didirikan oleh orang asing; dan (8) kembalinya kepemilikan lahan kepada masyarakat Indonesia oleh perusahaan asing.
Nasionalisasi mengacu pada pengurangan kontrol Belanda dan perombakan ulang ekonomi Indonesia pada era dekolonisasi segera setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Istilah nasionalisasi bias ditafsirkan untuk mengganti pegawai dan manajer Belanda ke Indonesia di birokrasi dan perusahaan swasta.
Kelahiran pemerintahan baru, Indonesia, dalam masa pasca kemerdekaan, membawa sebuah konsep pengelolaan aset kolonial, terutama penjajahan Belanda. Aset ekonomi kolonial dilakukan oleh pejuang kemerdekaan untuk beralih ke aset nasional. Proses transfer aset terjadi dalam dua cara, yaitu peralihan institusi dari Pemerintah Kolonial Belanda ke Pemerintah Indonesia dan nasionalisasi atau indonesianisasi.
Peralihan institusional biasanya terjadi di institusi pemerintah, yaitu dari Hindia Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Sementara itu, nasionalisasi ditujukan untuk aset non-pemerintah, keduanya milik orang asing swasta dan perusahaan milik negara Belanda. Proses perpindahan institusional berlangsung beberapa saat setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Di sisi lain, nasionalisasi terjadi dalam proses kemudian dan mencapai puncaknya pada tahun 1957.
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan produk hukum untuk melegalkan nasionalisasi. Nasionalisasi secara legal didasarkan pada implementasi UU No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Dalam pasal 1, dijelaskan bahwa: “Perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di Indonesia yang akan diatur dengan peraturan pemerintah akan tunduk dan diakui sebagai kepemilikan penuh dan bebas untuk Indonesia”. Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1959 menyebutkan bahwa perusahaan milik pemerintah Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi adalah: “(1) sebuah perusahaan yang sebagian atau keseluruhannya milik warga negara Belanda dan berada di Indonesia; (2) sebuah perusahaan milik suatu badan hukum yang sebagian atau seluruh modalnya berasal dari warga negara Belanda dan badan hukumnya berada di Indonesia; (3) sebuah perusahaan yang berlokasi di Indonesia dan tergabung dalam badan hukum di wilayah Kerajaan Belanda”.
Di sisi lain, perusahaan yang dinasionalisasi mencakup seluruh kekayaan, cadangan properti, dan hutang. Dan di ayat ke 2 UU No. 86 Tahun 1958 disebutkan bahwa: “perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia yang telah mengalami nasionalisasi akan mendapatkan kompensasi sebagaimana ditentukan oleh panitia dan kemudian ditetapkan oleh pemerintah”.
Nasionalisasi perkebunan ditandai dengan transfer dan pengambilalihan aset milik perusahaan perkebunan tersebut. Di antara perusahaan perkebunan tersebut, yang paling dominan adalah perkebunan tebu dan pabrik gula yang sebagian besar berada di Pulau Jawa. Nasionalisasi perkebunan tebu dan pabrik gula dianggap penting, karena gula merupakan aset ekonomi yang signifikan. Pada periode sebelum krisis ekonomi (1930), industri gula di Jawa menghasilkan tiga perempat dari keseluruhan ekspor Jawa dan telah menyumbang seperempat dari seluruh pendapatan dari pemerintah Hindia Belanda.
Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1959 khususnya mengatur tentang perusahaan pertanian atau perkebunan milik N.V 'Vereenigde Deli Mij. Menurut peraturan pemerintah tersebut, ada 38 perusahaan perkebunan tembakau yang telah dinasionalisasi tersebar di Sumatera dan Pulau Jawa. Sebagian besar perusahaan tersebut berada di Sumatera bagian timur. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah: Perusahaan perkebunan tembakau "Bandar Klippa" di Deli / Serdang, "Kwala begomit" perusahaan perkebunan tembakau di Langkat, "Bangak" di Boyolali, "Adiong" di Jember, dll.
Peraturan pemerintah no 19 tahun 1959 mengatur perusahaan pertanian atau perkebunan di luar perkebunan tembakau. Pada peraturan ini, tidak disebutkan tentang perusahaan pertanian yang dinasionalisasi, namun hanya disebutkan bahwa melalui peraturan tersebut, perusahaan pertanian dan perkebunan Belanda tersebut telah dinasionalisasi. Rincian perusahaan pertanian dan perkebunan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1959.
Terdapat 204 pejabat kantor dan petugas administrasi perusahaan perkebunan dan industri perkebunan dari perusahaan yang telah dinasionalisasi dengan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1959. Nasionalisasi perkebunan telah mengubah kepemilikan perusahaan perkebunan milik pemerintah Indonesia, namun di sisi lain, ada banyak masalah yang dihadapi setelah nasionalisasi terjadi. Ini merupakan awal runtuhnya industri gula di Jawa. Setelah nasionalisasi pengelolaan perusahaan perkebunan, termasuk industri gula yang berada di bawah kendali PPRI (Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia = Perusahaan Perkebunan Indonesia) kemudian berubah menjadi PTP (Perusahaan Terbatas Perkebunan) sebelumnya PTPN.
Orang asing yang sebelumnya memegang posisi penting di perusahaan perkebunan (termasuk gula) mengundurkan diri dari Indonesia, padahal transfer pengetahuan dari orang asing kepada orang indonesia belum berjalan dengan sempurna. Banyak orang Indonesia yang sebelumnya hanya pegawai tingkat rendah di perusahaan perkebunan tersebut dipromosikan menjadi pemimpin puncak, dari seorang mandor perkebunan yang dipromosikan ke administrator pabrik gula. Bahkan di beberapa perkebunan, posisi pemimpin ditangani oleh perwira militer yang tidak memiliki pengalaman dalam merawat perusahaan perkebunan.
Pabrik Gula Gondang
Source: http://historycomunity.blogspot.co.id/2016/01/pabrik-gula-gondang.html
Preseden buruk lainnya dari sisi pengembangan agroindustri akibat nasionalisasi adalah ketersediaan lahan. Sebelum nasionalisasi investor besar yang menginvestasikan investasinya di perkebunan tersebut bisa menggunakan lahan rakyat melalui sewa lahan dalam waktu lama (sampai 20 tahun). Setelah nasionalisasi, orang menarik lahan mereka dan tidak bisa disewa oleh perusahaan perkebunan karena akan digunakan untuk tanaman pangan.
Efek nasionalisasi tentu membuat kebanggaan tersendiri bagi Indonesia, namun di sisi lain, hal itu menyebabkan masalah hukum dengan pemilik lama dan masyarakat Indonesia, terutama mengenai kontrol dan kepemilikan lahan. Nasionalisasi menyebabkan Indonesia berdasarkan hokum internasional diwajibkan untuk memberikan kompensasi kepada pemilik perusahaan perkebunan Belanda, dan hutang tersebut baru saja diselesaikan pada tahun 2002. Beberapa konflik tentang kontrol dan kepemilikan lahan di antara perkebunan terus berlanjut sampai sekarang dan ini mengacu pada konflik horizontal. Pendekatan historis diperlukan untuk mengatasi rekonsiliasi atau proses hukum di pengadilan.


*Diadaptasi dari Perkuliahan Sejarah Sosial Ekonomi, Prof. Wasino, berdasarkan hasil penelitian beliau dan tim untuk Kementrian BUMN terkait nasionalisasi perusahaan di Indonesia.

Rabu, 29 November 2017

Melacak Perdagangan Kelapa Indragiri Hilir

Hasil telaah awal untuk mengetahui aliran barang dan perdagangan kelapa di masa lalu. Saya mengawali dengan mencoba menelusuri melalui telaah pustaka tentang perekonomian di masa lalu. Referensi pertama yang saya lihat adalah buku Anthony Reid, "Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 –1680", dengan ruang lingkup awal era merkantilisme referensi ini menjelaskan bagaimana daerah Asia Tenggara menjadi jalur perdagangan maritim yang penting di masa itu. Reid menyebut dari 1450 sampai 1680 sebagai "Age of Commerce" atau Era Perdagangan di Asia Tenggara, sebuah periode yang dicirikan tidak hanya dengan meningkatnya hubungan perdagangan internasional, tapi juga oleh pertumbuhan kota di seluruh daratan Asia Tenggara dan perluasan aktivitas kewirausahaan. Di pertengahan abad keenam belas, Reid berpendapat, setidaknya ada enam kota perdagangan dengan populasi lebih dari 20.000 orang serta beberapa hampir memiliki populasi lebih dari seratus ribu. Dalam referensi ini tidak ada disebut tentang kelapa, apalagi sebagai komoditas perdagangan ekspor.

Karena di masa awal merkantilisme tidak ditemui kelapa sebagai komoditas perdagangan. Lalu saya mencoba merujuk kepada referensi kedua tentang perekonomian di era kolonialisme. Perlu diawali dengan pelurusan, apakah benar kita dijajah selama 350 tahun? Bila pengertian penjajahan adalah aneksasi penuh, atau kekuasaan administratif menyeluruh dari suatu bangsa terhadap bangsa lainnya hal ini tidak benar. Belanda tidak memiliki personil, logistik, dan alat pemaksa untuk langsung menguasai nusantara secara keseluruhan saat awal kedatangannya. Ungkapan penjajahan selama 350 tahun itu ciri khas historiografi nasionalistik untuk mengobarkan resistensi terhadap penjajahan asing, namun hal terpenting saat ini agar ilmu sejarah berkembang dan memberi makna terhadap masyarakat adalah dikaji secara saintifik, sehingga dapat berangkat dari kelemahannya selama ini (akan dibahas di lain waktu, semoga bisa insyaAllah).

Referensi pustaka kedua adalah buku Anne Booth, "Colonial Legacies: Economic and Social Legacies in East and South East Asia". Buku ini mencoba menelaah secara komparatif terkait perkembangan ekonomi dan sosial daerah kolonial di wilayah Asia Timur dan Tenggara terutama pada abad ke-19 sampai menjelang transisi menuju kemerdekaan. Hasil telaah referensi ini sama, nihil belum menemui kata kelapa disebut sebagai hasil pertanian atau produk industri yang menjadi komoditas perdagangan. Contohnya ketika kebijakan liberalisasi ekonomi Belanda di akhir abad ke 19 yang membuka arus investasi terhadap perkebunan di Pantai Timur Sumatera (Sumatera Oost Kust), lebih banyak masuk untuk perkebunan kopi, tembakau, dan gula. Satupun tidak disebut tentang kelapa. Sedari awal saya sudah menyadari bahwa kelapa bukanlah komoditi primadona dibandingkan dengan hasil pertanian lainnya baik di masa dulu maupun saat ini, namun ketika daerah Indragiri Hilir telah menjadi kluster sentra kelapa dunia, hal ini merupakan ciri khas identifikasi dari Inhil.


Hipotesa awal dari pertanyaan sejak kapan kelapa menjadi komoditas perdagangan dan industri?Kemungkinan dapat dilacak di era setelah kemerdekaan. Sampai saat ini sumber yang dapat saya peroleh adalah data statistik yang dikeluarkan oleh BPS-RI tahun 1984 dan 1986 tentang bongkar muat barang antar pulau dan internasional di Indonesia. Data ini menunjukkan aliran barang antar pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah manajerial PT. Pelabuhan Nusantara Indonesia (Pelni). Sumber ini berasal dari otoritas resmi meskipun tidak semua pelabuhan mengirimkan data, namun tetap dapat diinterpretasikan.

Source: BPS-RI
Gambar 1. Bongkar Muat Barang Angkutan Antar Pulau dan Luar Negeri Menurut Jenis Barang (BPS-RI)
Catatan pergerakan kelapa melalui pelabuhan mencapai angka 258.559 Ton. Kelapa dan kopra merupakan hasil perkebunan dengan jumlah muatan angkutan terbanyak keempat setelah minyak kelapa sawit, gula, dan minyak goreng. Serta yang menarik pada tabel selanjutnya ditemukan bahwa 100% dari total angkutan muatan angkutan kelapa nasional ke luar negeri sejumlah 45.800 Ton semuan berasal dari Pelabuhan Tembilahan - Indragiri Hilir.

Gambar 2. Bongkar Muat Barang Angkutan Antar Pulau dan Luar Negeri Menurut Jenis Barang (BPS-RI), terlihat untuk Kelapa dan Kopra yang dimuat untuk diekspor berasal dari Tembilahan dan merupakan keseluruhan angkutan kelapa ke luar negeri dari semua pelabuhan di Indonesia
Demikian sampai saat ini referensi yang dapat ditelaah, dan sumber-sumber yang dapat saya peroleh. Jauh dari kata maksimal, sebagaimana penulisan-penulisan sejarah sosial ekonomi lainya. Semisal contoh sederhana buku Sejarah Sosial Ekonomi Pantai Utara Jawa pada Masa Kolonial Belanda yang ditulis oleh dosen Unnes Semarang, dirampungkan selama dua puluh tujuh tahun dengan menggunakan prosedur penelitian sejarah mulai dari heuristik sampai interpretasi, serta melalui empat tahap studi terpisah yang semuanya mendapat dana riset. Apalah daya analisa saya yang hanya bermodal semangat saja dan dalam waktu yang masih singkat ini.

Jumat, 24 November 2017

Analisis Islamisasi Nusantara Berdasarkan Sumber Sejarah: Oleh Merle Calvin Ricklefs (Text)

Berikut adalah suatu tulisan sejarah tentang masuknya Islam ke Nusantara -terutama Sumatera, Semenanjung Malaysia, Jawa, Borneo, Maluku, dll- tulisan ini adalah kutipan langsung dari buku History of Modern Indonesia Since c.1300 second edition. Semoga bermanfaat.


The spread of Islam is one of the most significant processes of Indonesian history, but also one of the most obscure. Muslim traders had apparently been present in some parts of Indonesia for several centuries before Islam became established within the local communities. When, why and how the conversion of Indonesians began has been debated by several scholars, but no definite conclusions have been possible because the records of Islamisation which survive are so few, and often so uninformative. In general, two processes probably occurred. On the one hand, indigenous Indonesians came into contact with Islam and made an act of conversion. On the other, foreign Asians (Arabs, Indians, Chinese, etc.) who were already Muslims settled permanently in an Indonesian area, intermarried and adopted local lifestyles to such a degree that in effect they became Javanese or Malay or whatever. These two processes may often have occurred in conjunction with each other, and when a piece of evidence survives indicating, for instance, that a Muslim dynasty had been established in some area, it is often impossible to know which of these two processes was the more important.
There must have been an Islamic presence in maritime Southeast Asia from early in the Islamic era. From the time of the third caliph of Islam, 'Uthman (644-56), Muslim emissaries from Arabia began to arrive at the Chinese court. By at least the ninth century there were several thousand Muslim merchants in Canton. Such contacts between China and the Islamic world would have been maintained primarily via the sea routes through Indonesian waters. It is therefore not surprising that Muslims seem to have played an important role in the affairs of the great Sumatran Buddhist trading state of Srivijaya, which was founded in the later seventh century. Between 904 and the mid-twelfth century, envoys with Arabic names came from there to the Chinese court. In 1282 the king of Samudra in north Sumatra sent two emissaries with Arabic names to China. Unfortunately, the presence of foreign Muslims in the Indonesian area does not demonstrate either that local Islamic states had been established or that a significant level of local conversions had occurred.
The most reliable evidence for the spread of Islam within a local Indonesian society consists of Islamic inscriptions (mostly tombstones) and a few travellers' accounts. The earliest surviving Muslim gravestone on which the date is clear is found at Leran in East Java and is dated AH 475 (AD 1082). This was the gravestone of a woman, a daughter of someone named Maimun. It has, however, been doubted whether the grave to which the stone belongs was actually in Java, or whether the stone was for some reason transported to Java (for instance, as ballast on a ship) sometime after the lady's death. In any case, since the deceased appears to have been a non-Indonesian Muslim, this stone sheds no light on the establishment of Islam among Indonesians.
The first evidence of Indonesian Muslims concerns the northern part of Sumatra. When the Venetian traveller Marco Polo touched at Sumatra on his way home from China in 1292, he found that Perlak was a Muslim town, while two nearby places which he called 'Basma(n)' and 'Samara' were not. 'Basma(n)' and 'Samara' have often been identified with Pasai and Samudra, but this identification is open to question. It is possible either that 'Samara' is not Samudra, or if it is that Polo was wrong in saying that it was non-Muslim. For the gravestone of the first Muslim ruler of Samudra, Sultan Malik as-Salih, has been found, and is dated AH 696 (AD 1297). This is the first clear evidence of the existence of a Muslim dynasty in the Indonesian-Malay area, and further gravestones demonstrate that from the late thirteenth century this part of North Sumatra remained under Islamic rule. The Moroccan traveller Ibn Battuta passed through Samudra on his way to and from China in 1345 and 1346, and found that the ruler was a follower of the Shafi'i school oflaw. This confirms the presence from an early date of the school which was later to dominate Indonesia, although it is possible that the other three Orthodox schools (Hanafi, Maliki and Hanbali) were also present at an early time.
Two late-fourteenth-century gravestones from Minye Tujoh in North Sumatra appear to document the continuing cultural transition there. The two stones are in the same form, but one has an Arabic inscription and the other an Old Malay inscription in paleo-Sumatran (Indian-type) characters, both inscriptions being Islamic. They both date the death of a daughter of a deceased Sultan Malik az- Zahir, but although they have the same month, date and day of the week, they differ by ten years (AH 781 and 791/ AD 1380, 1389). It seems likely that there is an error in one of the years, that both inscriptions refer to the same woman and that she was therefore commemorated with inscriptions in two languages and two scripts. Mter this time, the documents from North Sumatra are wholly in the Arabic script.
From the fourteenth century survives evidence of the spread of Islam to Brunei, Trengganu (in what is now northeast Malaysia) and EastJava. An Arabic inscription on a tombstone from Brunei praises a dead ruler called both Sultan (Arabic) and Maharaja (Sanskrit) of Brunei; although the stone is undated, Chen argues that it must have been made in Quanzhou (Kwangchow), South China, and imported from there early in the fourteenth century, in any case before 1366. Another gravestone records in Chinese the death in Brunei in 1264 of a Chinese who was apparently a Muslim. The Trengganu stone is a fragment of a legal edict. The date at the end appears to be incomplete, however, and the possible range of dates for this inscription is between AD 1302 and 1387. The stone appears to represent the introduction of Islamic law into a previously non-Islamic area, as is suggested by the predominance of Sanskrit over Arabic words, even for such an important word as God, which is given in one case as dewata mulia raya rather than Allah.
A particularly significant series of gravestones is found in the East Javanese graveyards of Trawulan and Tralaya, near the site of the Hindu-Buddhist court of Majapahit (see Chapter 2). These stones mark the burial of Muslims, but with one exception they are dated in the Indian Saka era rather than the Islamic Anno Hijrae and use Old Javanese rather than Arabic numerals. The Saka era was used by the Javanese courts from Old Javanese times down to AD 1633, and its presence on these tombstones and the use of Old Javanese numerals mean that these are almost certainly the tombs of Javanese, as opposed to foreign, Muslims. The earliest is found at Trawulan, bearing the date S 1290 (AD 1368-9). At Tralaya is a series of gravestones extending from S 1298 to 1533 (AD 1376-1611). These stones carry Qur'anic quotations and pious formulae. From the elaborate decoration on some of them and their proximity to the site of the Majapahit capital, Damais concluded that these were probably the graves of very distinguished Javanese, perhaps even members of the royal family.
These EastJavanese stones therefore suggest that some members oftheJavanese elite adopted Islam at a time when the Hindu-Buddhist state of Majapahit was at the very height of its glory. These were, moreover, the first Javanese Muslims of whom evidence survives. Since evidence is so scanty, of course it cannot be said with certainty that these were the first Javanese adherents to Islam. But the Trawulan and Tralaya gravestones certainly contradict, and therefore cast grave doubts upon, the view once held by scholars that Islam originated on the coast of Java and initially represented a religious and political force which opposed Majapahit.
The likelihood or otherwise of Javanese courtiers embracing Islam before Javanese coastal communities did so is influenced by one's view of the relative importance of traders and Sufis as the bringers of Islam; this issue is discussed below. There can be little doubt that Majapahit, with its far-flung political and trading contacts outside Java (see Chapter 2), would have seen foreign Muslim traders. The problem is whether its sophisticated courtiers would have been attracted to a religion of merchants. Mystical Islamic teachers, perhaps claiming supernatural powers, seem a more plausible agent of conversion in Javanese court circles, which had long been familiar with the mystical speculations of Hinduism and Buddhism.
When Islam began to be adopted among the communities of the north coast of Java is unclear. In 1416, the Chinese Muslim Ma Huan visited the coast of Java and left a report in his book Ying-yai Sheng-Lan (‘The overall survey of the ocean's shores', published in 1451) that there were only three kinds of people in Java: Muslims from the west, Chinese (some of them Muslims) and the heathen Java- nese. Since the Trawulan and Tralaya gravestones show that there were Javanese Muslims at the court some fifty years before this time, Ma Huan's report suggests that Islam was indeed adopted by Javanese courtiers before coastal Javanese began to convert. An early Muslim gravestone dated AH 822 (AD 1419) has been found at Gresik, one of the most important East Javanese ports. It marks the burial of one Malik Ibrahim, but since this gentleman was apparently not Javanese it merely confirms the presence of foreign Muslims in Java, and sheds no further light on the question of coastal Javanese conversion. Local traditions, however, say that Malik Ibrahim was one ofthe first nine apostles ofIslam inJava (the wali sanga), a tradition for which there is no documentary evidence.
Around the beginning of the fifteenth century, the great Malay trading state of Malacca was founded. Its history will be considered briefly in Chapter 2. Malacca was the most important trading centre of the western archipelago, and therefore became a centre for foreign Muslims and apparently a supporter of the spread of Islam. From Malacca and elsewhere survive gravestones showing this spread in the Malay Peninsula. The gravestone of Malacca's sixth Sultan, Mansur Syah (d. AH 822/ AD 1477), has been found, as has the gravestone of the first Sultan of Pahang, Muhammad Syah (d. AH 880/ AD 1475). From Pengkalan Kempas in Negeri Sembilan survives an inscription which appears to show that this region was in transition to an Islamic culture in the 1460s. The stone is in two parts, one written in Malay with Arabic script, and the other in Malay with Indian-type characters like those found on the Minye Tujoh inscription. The stone uses the Indian Saka era, and apparently records the death of a local hero named Ahmat M~anu in S 1385 (AD 1463-4).
Returning to North Sumatra, late fifteenth- and sixteenth-century graves docu- ment the establishment of further Islamic states there. The first Sultan of Pedir, Muzaffar Syah, was buried in AH 902 (AD 1497), and the second, Ma'ruf Syah, in AH 917 (AD 1511). At the very tip of North Sumatra, the state of Aceh was founded in the early sixteenth century; it was soon to become the most powerful North Sumatran state and one of the most powerful states of the Malay-Indonesian area. The first Sultan of the Acehnese 'empire' was Ali Mughayat Syah, whose tombstone is dated AH 936 (AD 1530).
Outside of Java, Sumatra, Brunei and the Malay Peninsula, there is no evidence of the adoption of Islam by Indonesians before the sixteenth century. It is quite clear, however, that Islam had spread to some points farther east, for near Jolo (in the Sulu archipelago, southern Philippines) there was a tombstone dated AH 710 (AD 1310) marking the grave of a Muslim who was apparently of foreign origin but who had become some sort oflocal ruler. Much later legendary sources from Mindanao and Sulu, the Islamic areas of the Philippines, describe the bringing of Islam by Arabs and Malays from the western archipelago. It seems probable that Chinese Muslims also played a role in the spread of Islam in this area.
Before the sixteenth century, the fragmentary evidence shows that the spread of Islam began in the western archipelago. There does not, however, seem to have been a continuous rolling wave of Islam, with one contiguous area after another adopting the new faith. The evidence provides only a few brief hints of the process which was under way, but it was apparently complicated and rather slow. By the end of the thirteenth century, Islam was established in North Sumatra; in the fourteenth century in northeast Malaya, Brunei, the southern Philippines and among some courtiers in EastJava; and in the fifteenth century in Malacca and other areas of the Malay Peninsula. A few gravestones or travellers' accounts can only provide evidence about the presence of indigenous Muslims in a certain place at a certain time. The fact that no evidence of Islamisation happens to have survived from other places does not necessarily mean that there were no Muslims there. And the surviving evidence cannot answer more complex questions - such as, for instance, how many of the people of Samudra other than the ruler were Muslims in 1297, or how deeply the lifestyles or religious ideas of the first Indonesian converts were affected by Islam. As will be seen in subsequent chapters, Islamisation is a process which has continued down to the present day. It must not be assumed that once an area is known to have had a Muslim ruler, the process of Islamisation was complete. Indeed, this probably symbolises more the beginning than the end of Islamisation among the populace.
In the early sixteenth century, an extraordinary European source makes possible a general survey of Islam in the Indonesian Archipelago. Tome Pires was an apothcary from Lisbon who spent the years from 1512 to 1515 in Malacca, immediately after its conquest by the Portuguese in 1511. During this time he visited Java and Sumatra personally, and avidly collected information from others concerning the entire Malay-Indonesian area. His book Suma Oriental reveals a discriminating observer, whose descriptions are far superior to those of other Portuguese writers. It is full of invaluable material of many varieties, but in this chapter attention must be focused upon what Pires observed regarding Islam. His evidence cannot be presumed to be accurate in all details, of course. But so much of what he wrote seems consistent with the other fragments of evidence described above, and his description is so free of obviously erroneous statements about the area, that it seems to stand as one of the most important documents on the spread of Islam in Indonesia.
According to Pires, most of the kings of Sumatra were Muslims by his time, but there were still non-Islamic states. From Aceh in the north down the east coast as far as Palembang, the rulers were Muslims. South of Palembang and around the tip of Sumatra up the west coast, most of them wne not. At Pasai there was a thriving international trading community and Pires attributed the original establishment of Islam in Pasai to the 'cunning' of these Muslim meIThants. The ruler of Pasai had not, however, been able to convert the people of the interior. Similarly, the Minangkabau king and a hundred of his men were reportedly Muslims, although the remaining Minangkabau people were not. But Pires said that Islam was winning new adherents daily in Sumatra.
The Sundanese-speaking region of West Java was not yet Muslim ill Pires's day, and indeed was hostile to Islam. Although Pires did not mention the name, this was the area ruled by the Hindu-B;lddhist state of Pajajaran, concerning which there are hardly any reliable records. The Islamisation of this area by conquest in the sixteenth century is discussed in Chapter 4.
Central and EastJava, the areas where the ethnic Javanese lived, was still claimed by the Hindu-Buddhist king living in the interior of EastJava at Daha (Kediri). The coastal areas as far east as Surabaya were, however, Islamised, and were often at war with the interior, except for Tuban, which remained loyal to the Hindu-Buddhist king. Some of the coastal Muslim lords were Javanese who had adhered to Islam. Some were not originally Javanese, but rather Muslim Chinese, Indians, Arabs and Malays who had settled on the coast and established trading states. Pires described a process of Javanisation under way among these latter groups, who so admired the culture of the Hindu-Buddhist court that they attempted to emulate its style and were becoming Javanese thereby. The fourteenth-century gravestones of Trawulan and Tralaya discussed above suggest that for its part the Hindu-Buddhist court was able, at least at times, to tolerate Muslims within its own circle. The warfare which Pires describes between coast and interior should not, therefore, be seen as neces- sarilya product of irreconcilable religious and cultural differences, for there was a process of cultural assimilation at work as Islam encountered the powerful high culture of Old Java. This process of assimilation and accommodation continued long after the vast majority of Javanese were at least nominally Muslim, and has made the Islam of Java rather different in style from that of Malaya or Sumatra. The warfare between coast and interior also continued long after hoth regions had adopted Islam, and its origins are probably to be sought more in the political and economic differences between the two areas which are discussed in following chapters. East of Surabaya, the Javanese coast was still pre-Islamic, and apparently Hindu, for widow-burning was practised. 'Thus,' said Pires, ‘they lose their bodies in this life and their souls burn in the next' (Suma Oriental, 198).
In Kalimantan (Borneo), Pires reported that Brunei had a king who had recently become a Muslim. The rest of Kalimantan was non-Muslim, as were also the islands of Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Solor and Timor to the east of Java. The Bugis and Makasarese of South Sulawesi (Celebes) were also not yet Islamised.
Islam was, however, spreading in the 'Spice Islands' of Maluku in East Indonesia. Muslim Javanese and Malay merchants were established on the coast of Banda, but there was no king there and the interior still contained non-Muslims. Ternate, Tidore and Bacan had Muslim kings. The rulers of Tidore and Bacan used the Indian title Raja, but that of Ternate had adopted the title of Sultan and the Raja of Tidore had taken the Arabic name ai-Mansur.
All the evidence taken together gives a general picture of the progress of Islam from the late thirteenth to the early sixteenth centuries. From a starting point in the north of Sumatra, it had spread as far as the spice-producing areas of East Indonesia. The areas where it was most firmly established were those which were most important in international trade: the Sumatran shores of the Straits of Malacca, the Malay Peninsula, the north coast of Java, Brunei, Sulu and Maluku. Yet not all important trade areas had, on Tome Pires' evidence, been Islamised. For example, Timor and Sumba, which produced sandalwood, were still non-Islamic. And the presence of international trade does little to explain why there should have been Muslim aristocrats at the court of Majapahit in the fourteenth century, or why Trengganu is the earliest area of Malaya where Islamisation is documented. Some kind oflink between trade and Islam is nonetheless apparent.
The general timing of the beginnings of Islamisation can thus be established to some degree, but there remain ihlportant questions which have provoked consid- erable controversy. After several centuries during which foreign Muslims had been passing through or residing in Indonesia, why was it that significant Indonesian conversions began only in the thirteenth, and especially in the fourteenth and fifteenth centuries? Where did the Islam of Indonesia come from? And how did Islam succeed in becoming the majority religion of Indonesia?
To attempt an answer to such questions, some scholars have thought it appropri- ate to turn from the primary historical records discussed above to the Indonesian legends which record how Indonesians themselves told the story of their conver- sion. All these legends are much later than the coming ofIslam; although they may contain old stories, most of the texts are known only in eighteenth- and nineteenth- century versions. These are not reliable historical accounts, but in their shared emphasis upon the roles played by esoteric learning and magical powers, upon the foreign origins and trade connections of the first teachers, and upon a process of conversion which began with the elite and worked downwards, they may reveal something of the original events.
Hikayat Raja-raja Pasai (,Story of the kings of Pasai') is one such legendary source. The text is in Malay, but was copied at Demak (north Java) in 1814. It tells how Islam came to Samudra, the first area where an Islamic state was founded; the gravestone of the first Sultan, Malik as-Salih, of 1297 was discussed above. In this story, the Caliph of Mecca hears of the existence of Samudra and decides to send a ship there in fulfilment of a prophecy of the Prophet Muhammad that there would one day be a great city in the East called Samudra, which would produce many saints. The ship's captain, Shaikh Ismail, stops en route in India to pick up a Sultan who has stepped down from his throne to become a holy man. The ruler of Samudra, Merah Silau (or Silu), has a dream in which the Prophet appears to him, magically transfers knowledge of Islam to him by spitting in his mouth, and gives him the title Sultan Malik as-Salih. Upon awakening, the new Sultan discovers that he can read the Qur’an although he has never been instructed and that he has been magically circumcised. His followers are understandably mystified by the Sultan's recitations in Arabic. But then the ship arrives from Mecca. When Shaikh Ismail hears Malik as-Salih's Confession of Faith, he installs him as ruler with regalia and state robes from Mecca. Ismail goes on to teach the populace how to recite the Confession - that there is no God but God and Muhammad is His messenger. He then departs, but the Indian holy man stays behind to establish Islam more firmly in Samudra.
Sijarah Melayu (‘Malay History') is another Malay text known in several versions. One text carries the date AH 1021 (AD 1612), but this exists only in an early- nineteenth-century copy. As well as a story about the conversion ofSamudra which is like that of Hikayat Raja-raja Pasai, this text contains a tale about the conversion of the king of Malacca. He, too, has a dream in which the Prophet appears, teaches him the Confession of Faith, gives him the new name Muhammad, and tells him that on the following day a ship will arrive from Arabia carrying a teacher whom he is to obey. On waking, the king discovers that he has been magically circumcised, and as he goes about continually repeating the Confession of Faith the rest of the court (who cannot understand the Arabic phrases) become convinced that he has gone mad. But then the ship arrives, and from it Sayyid Abdul Aziz steps down to pray upon the shore, much to the wonderment of the population who ask the meaning of his ritual movements. The king announces that this is all as it was in his dream, and the court officials thereupon join him in embracing Islam. The king now takes the title Sultan Muhammad Syah and commands all the populace to embrace Islam. Sayyid Abdul Aziz becomes the teacher of the king.
These two Malay texts are different from the Islamisation legends concerning Java which have so far been studied. Whereas the Malay texts see Islamisation as a great turning point, marked by the formal signs of conversion such as circumcision, the Confession of Faith and the adoption of an Arabic name, the Javanese legends do not present Islamisation as such a great watershed. This seems consistent with the evidence discussed above, suggesting that a process of assimilation was at work in Java. But in Javanese stories, magical events still playa prominent role.
Babad Tanah Jawi (‘History of the land of Java') is a generic title covering a large number of manuscripts in Javanese, which vary in their arrangement and details, and none of which exists in copies older than the eighteenth century. These texts ascribe the first Javanese conversions to the work of the nine saints (wali sanga), but the names and relationships among these nine differ in various texts. It is impossible to reduce these variations to a list of nine persons upon which all texts would agree; indeed some manuscripts accept the convention that there were nine, but nonetheless proceed to list ten. The following names would, however, be fairly widely found in the manuscripts: Sunan Ngampel-Denta, Sunan Kudus, Sunan Murya, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Sitijenar, Sunan Gunungjati and Sun an Walilanang. A tenth wali, Sunan Bayat, is also often found.
The term wali which is applied to all these figures is Arabic (meaning 'saint'), but the title sunan which they all carry is Javanese. The origin of the latter is somewhat unclear, but it may derive from suhun, meaning 'to do honour to', here in a passive form meaning 'honoured'. Several, but not all, of the walis are said to have been of non:Javanese desc~nt, and several are said to have studied in Malacca (notably Sunans Giri, Bonang and Walilanang). Several are also said to have had commercial connections, Giri as the foster child of a female trader, Bayat as the employee of a woman rice merchant, and Kalijaga as a grass salesman.
The Babad Tanah Jawi story of how Sunan Kalijaga was brought to the rightful path is instructive. It is notable that the formal signs of conversion (circumcision, Confession of Faith, etc.) are so entirely absent that it is not in fact clear whether Kalijaga is already nominally Muslim at the time of his 'conversion'. In this story, Kalijaga is said to be the son of a Tumenggung Wilatikta in the service of Majapahit, whose religious affiliation is unspecified. The young man, however, has the name Said, which is Arabic. Having lost at gambling, Said becomes a highway robber on the north coast. One day Sunan Bonang passes and is accosted by Said, but Bonang tells him that it would be much better to rob a person who will later pass by, dressed entirely in blue with a red hibiscus flower behind his ear. Said takes this advice, and three days later this other person appears. It is, of course, Bonang himself in disguise. When Said attacks him, however, Bonang turns himself into four persons. Said is so shaken by the experience that he gives up his bad ways and adopts the life of an ascetic. He takes the name Kalijaga, becomes a wali and marries a sister of Sunan Gunungjati.
Sejarah Banten ('History of Banten') is another Javanese text containing conver- sion stories. Most manuscripts of this chronicle are late-nineteenth-century, but two are copies of originals written in the 1730s and 1740s. As is the case with the Babad Tanah Jawi legends, there are many magical events here, but conversions are not very explicitly described and there is no emphasis on the Confession of Faith, circumcision, etc. The story of the origins of Sunan Giri is of interest. According to Sijarah Banten, a foreign holy man named Molana Usalam comes to Balambangan in the Eastern Salient (Oosthoek) of Java, an area where Islam was not in fact established until the late eighteenth century. The ruler of Balambangan has a daughter who is incurably ill, but she recovers when Molana Usalam gives her betel-nut to chew. She is then given in marriage to Molana Usalam, but when he also asks the ruler to adopt Islam the latter refuses. Molana Usalam therefore departs from Balambangan, leaving behind the princess who is already pregnant. When she bears a son, he is thrown into the sea in a chest, as in the story of Moses (which is found in sura XX of the Qur’an as well as in the Bible). The chest is fished out of the sea at Gresik, where the boy is raised as a Muslim and later becomes the first Sunan of Giri. It is worth noting that, so far as is known at present, Malay legends are devoid of stories such as that of Balambangan, where the supernatural powers of a foreign holy man are insufficient to cause. conversion.
These kinds of legends cannot tell much about the actual events surrounding the coming of Islam, but they do at least reflect how later generations of Indo- nesian Muslims looked back upon Islamisation. There is a clear and significant difference between the Malay and Javanese legends, with Islamisation being a major turning point defined by clear outward signs of conversion in the former, but a much less clearly marked transition in the latter. There are also important consistencies between the two sets of traditions. Both reflect memories of the foreign origins of some of the early teachers, of magical events which attended Islamisation, and of the conversion process as something which began with the ruling elite of the area.
From the north coast of Java came two further documents which help to add substance to the story of Islamisation. These two manuscripts in Javanese contain Islamic teachings as they were being given in Java in the sixteenth century. Although neither manuscript is dated, both were brought back to the Netherlands by the first Dutch expedition toJava (1595-7) and are therefore prior to that time in date. Neither is a connected work of theology. One is a primbon (handbook) containing attributed by notes C. W. made J. by one or more students of some teacher. The other is Drewes to a teacher named Seh Bari, and contains consi- derations upon a series of disputed points. Both texts are orthodox, and both are mystical. That is to say, they do not reflect the austere legal interests associated with the four Orthodox schools of Islam, but rather the metaphysical considerations and ascetic ethos associated with the mystics of Islam, the Sufis, who by this time were accepted as part of the orthodox Islamic world.
The orthodoxy of these two manuscripts is significant. The Islam of Indonesia has been full of heterodoxy and heresy, a fact which later encouraged major reformist movements in the nineteenth and twentieth centuries. These texts are therefore important for showing that entirely orthodox Islam was being taught, at least in some areas, from an early time. These texts do reveal some adaptation to Javanese surroundings. For instance, God is referred to with the Javanese term pangeran and asceticism is described with the Javanese word tapa. Both texts use the Javanese script, which had originally developed from an Indian script, although in later centuries religious works in Javanese sometimes employed the Arabic script. These adjustments to the Javanese environment are, however, oflittle significance; the teachings of these texts could have been found in any orthodox mystical community in the Islamic world. The book ascribed to Seh Bari suggests that this orthodox viewpoint may not have been dominant throughout Java, for it has long passages attacking heretical doctrines. In particular, it denounces any identifica- tion of God and Man, which is one of the worst heresies in Islam, although it is excellent Hinduism and a doctrine that has persisted in some Javanese Muslim circles in the twentieth century.
G.W. J.  Drewes proposes that a third Javanese manuscript, a 'code of  Muslim ethics', is also to be dated to the early stages of Islamisation in Java. The antiquity of this text is, however, less certain than is true of the sixteenth-century primbon and Seh Bari works. The 'code' could be as late as the final wave of conversions in East Java in the eighteenth century. It is nonetheless valuable for depicting the strains in a society in the midst of Islamisation. Its author repeatedly denounces the practices of those who still clung to the traditional religion (called agama jawa, ‘Javanese religion'). This text, too, belongs within a generally mystical understanding of Islam, but there also survives an anony- mous Malay-language manuscript dating from before 1620 which demonstrates that non-mystical Qur'anic exegesis was practised as well in the Indonesian region.
The evidence concerning the coming of Islam to Indonesia which has been discussed above does not easily lead to firm conclusions. It is for this reason that scholars have differed sharply in their views of Islamisation. One rather lengthy debate has concerned the area from which Islam came. Gujerat in northwest India has been one favoured candidate; Gujerati influence is suggested by the fact that the tombstone of Malik Ibrahim (d. 1419) at Gresik and several stones at Pasai are believed to have been imported from Cam bay in Gujerat. The Malabar coast of southwest India, Coromandel in southeast India, Bengal, South China and of course Arabia, Egypt and Persia have all been suggested as the source of Indonesian Islam. Too often this debate seems to presuppose an unjustifiably simplistic view of events. This was, after all, a process of religious change which occupied several centuries. In this chapter, only evidence for the initial stages has been examined, yet between the time of Malik as-Salih's gravestone and Tome Pires's account over two centuries elapsed. The area concerned is the largest archipelago on the earth's surface, and at the time in question it was already involved in international trade. It seems highly improbable that the Islamisation of Indonesia can be explained with reference to only one source. Nor is it acceptable to consider only external sources, for it seems clear that Islam was introduced in many areas by Indonesians themselves, especially by Malay and Javanese Muslims travelling in East Indonesia and by Muslim rulers who conquered non-Islamised areas. There is sufficient evidence to suggest that foreign Muslims from many areas and Indonesian Muslims themselves all played important roles in various areas at various times.
But the major question remains; why was Islam adopted by a significant number of Indonesians only in the thirteenth, fourteenth and fifteenth centuries? There was at one time a widely accepted stereotype which described Islamisation solely in terms of foreign traders who intermarried locally and formed Islamic communities in this way; these grew as Indonesians were attracted to the new faith, whose egalitarian ethos supposedly provided relief from the Hindu caste system. This idea is now, quite rightly, almost entirely rejected. There is no evidence whatsoever that there was anything egalitarian about Islam in practice; all the evidence in this chapter points to Islamisation from above, and none of the Islamic societies which will be discussed in subsequent chapters was in any sense egalitarian. Nor can the presence of traders alone explain Islamisation, for it seems certain that Muslim traders had been present in Indonesia long before significant Indonesian conversions began. On the other hand, conversion is inconceivable without trade, for it was the international network of commerce that brought Indonesians into contact with Islam.
The clear evidence of a mystical bias in much of Indonesian Islam has led to the suggestion that the Sufis were the primary agents of conversion. A. H. Johns is the main supporter of this argument, and he points out that the Islamisation of Indonesia coincided with the period when Sufism came to dominate die Islamic world, after the fall of Baghdad to the Mongols in 1258. He sees the Sufis, of all nationalities, as travelling to Indonesia aboard trading ships and there successfully propagating their more eclectic and less austere version ofthe faith. Although this view has much logical force, it does lack evidence, for no organised Sufi brother- hood is documented in Indonesia from this early period. On the other hand, there is of course little documentation to support any theory. Moreover, in India, where Islamisation also occurred within previously Hindu communities, some scholars have argued that Sufis were not normally the initial agents of conversion, but rather a second wave of Islam which deepened the orthodox commitment of already Islamised areas. This is similar to the role ascribed to the Indian holy man in the Hikayat Raja-raja Pasai story described above. And the Sufi theory seems irrelevant to those cases such as Tome Pires described, where foreign Muslims settled and became Javanese, so that the question is more one of Javanisation than Islamisation. Nonetheless, the strong mystical strain in Indonesian Islam is perfectly clear in the two sixteenth-century Javanese religious texts and in later, better known, centuries. Mysticism is therefore clearly a part of Islamisation, but its precise role remains unclear.
Given the unsatisfactory nature of the evidence, great caution is essential in drawing conclusions. It seems perfectly clear that trade was an essential element in bringing Islam to Indonesia. It may also have been an incentive to conversion, for Indonesian rulers involved in trade may have thought it expedient to adopt the same religion as the majority of the traders. But traders are unlikely to have been intimates of the nobility of the Majapahit court, who would probably have regarded themselves as being far above merchants in social standing; they are more likely to have been influenced by learned Muslim mystics and holy men with claims to supernatural powers. And the problem remains of explaining why conversions only began several centuries after Muslim traders had been known in the region.
Distinctions must probably be drawn between different areas of Indonesia. There were parts of Sumatra and the Javanese coast of which nothing is known before Islamisation; in some cases towns emerged here as a result of foreign Muslims settling, in other cases Indonesians living there may have been little influenced by Hindu-Buddhist ideas and were therefore attracted to Islam for the cultural paraphernalia it brought, such as literacy. But in the ancient centres of high culture this was not true: in Majapahit and Bali Islam met profound cultural barriers. Majapahit's cultural influence was such that even nonjavanese Muslims on the coast emulated its style. It is symptomatic of this difference that in North Sumatra there were Sultans since the end of the thirteenth century, whereas no Javanese monarch is known definitely to have adopted that title until the seven- teenth century. It would be wrong, however, to overemphasise the superficiality of Islamisation in Java. Although Islam had a very limited impact on Javanese philosophy, it altered some fundamental social customs: eventually all Javanese converts accepted circumcision and burial, for instance, in place of Hindu- Buddhist rituals such as cremation. Entrance into this new religious community was, thus, clearly marked. In Bali, for reasons which are not clear, the cultural barriers were insurmountable and Bali has remained Hindu until the present day. In all areas of Indonesia, Islamisation was the beginning, not the end, of a major process of change. Seven centuries later, this process is still continuing.
One final point needs to be made. The debates about the relative importance of traders and Sufis, and about the foreign sources of Indonesian Islam, obscured an important aspect oflslamisation. It is often thought of as a peaceful process, since there is no evidence of foreign military expeditions imposing Islam by conquest. But once an Indonesian Islamic state was founded, Islam was sometimes spread from there to other areas by warfare. Examples of this in sixteenth-century Sumatra and Java and in seventeenth-century Sulawesi will be seen in Chapter 4. This does not necessarily mean that such wars were fought primarily in order to spread Islam; the roots of these struggles were perhaps more commonly dynastic, strategic and economic. But Islamisation often followed upon conquest. Islam was spread in Indonesia not only by persuasion and commercial pressures, but by the sword as well.