Pada
awal abad ke-19 sejarah politik mulai dominan dengan Leopold Von Ranke sebagai
sejarawan yang menonjol masa itu. Ranke memang tidak menolak mentah-mentah
sejarah sosial, tapi buku-bukunya pada umumnya mencerminkan hal ini. Kurang
diminatinya sejarah sosial pada masa itu disebabkan beberapa alasan. Pertama,
pada periode ini pemerintahan di Eropa mulai memandang sejarah sebagai alat
untuk meningkatkan persatuan bangsa, pendidikan kewarganegaraan. Ketika Jerman
dan Italia baru berdiri dan negara yang lebih tua seperti Perancis dan Spanyol
masih terjebak oleh primordialisme, pengajaran sejarah nasional di sekolah dan
universitas mendorong terciptanya integrasi sejarah dan politik. Kedua,
revolusi kesejarahan yang terkait dengan Ranke adalah sebuah revolusi tentang
sumber dan metode, yaitu suatu perubahan dari penggunaan sejarah lama atau
kronik ke penggunaan arsip resmi pemerintah. Sejarawan mulai secara teratur
menggeluti arsip dan mengembangkan teknik-teknik yang lebih baik untuk menilai
keterandalan (reliabilitas)
dari dokumen. Dengan ini mereka berpendapat penulisan sejarah mereka lebih
objektif dan ilmiah dibandingkan yang dibuat oleh pendahulu mereka (Burke,
1986).
Pada
akhir abad ke-19, sejumlah sejarawan berpandangan berbeda dengan aliran Ranke,
salah satu pengkritik paling vocal adalah Karl Lamprecht yang mengkritik
lembaga sejarah Jerman yang terlalu menitik beratkan pada politik dan
orang-orang besar saja. Sejarah menurut Lamprecht utamanya adalah ilmu
psikologi sosial. Pendekatan psikologi inilah yang dia terapkan dalam History
of German. Selain itu Otto Hintze menyatakan jenis sejarah yang dibuat oleh
Lamprecht lebih maju dari pada aliran Ranke, oleh Hintze menyampaikan kita
ingin mengetahui tidak hanya gugus dan puncak gunung melainkan juga kaki
gunungnya, tidak hanya tinggi dan dalamnya daratan melainkan keseluruhan
benuanya.
Di
Prancis tahun 1920-an adalah era gerakan sejarah jenis baru, yang dipimpin oleh
dua guru besar Universitas Strasbourg, March Bloch dan Lucien Favre. Jurnal
yang mereka terbitkan Annales d’Histoire Economique et Sociale,
mengkritik tajam sejarah tradisional dan dominasi sejarah politik, keinginan
mereka ialah mengganti sejarah politik dengan sejarah yang lebih luas dan manusiawi,
suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat
kepada penceritaan disbanding analisis struktur, sebuah istilah yang menjadi
favorit sejarawan Perancis dengan julukan Mazhab Annales.
Pada
tahun 1960-an, buku-buku sejarah dengan pendekatan sosial banyak diterbitkan
semisal Political Systems of Empires, karya Samuel Eisenstadt
(1963), The First New Nation, karya Seymour M. Lipset (1963), The
Vendee oleh Charles Tilly (1964), Social Origins of
Dictatorship and Democracy oleh Barrington Moore (1966), dan Peasant
Wars oleh Eric Wolf (1969), semuanya menyuarakan dan mendorong
kesamaan tujuan antara teorisasi dan sejarawan sosial. Selanjutnya sampai dua
puluh tahun kemudian kecendrungan ini terus berlanjut. Semakin banyak
antropolog sosial, terutama Clifford Geertz dan Marshal Sahlins memasukkan
dimensi sejarah dalam kajian-kajiannya. Sekelompok sosiolog Inggris, utamanya
Ernest Gellner, John Hall, dan Michael Mann, telah menghidupkan kembali proyek
abad ke-18 mengenai sejarah filsafat Adam Smith, Karl Marx, dan Max Webber,
yang tujuannya adalah untuk membedakan berbagai tipe masyarakat serta
menjelaskan proses peralihan dari suatu tipe ke tipe yang lain. Istilah
“sosiologi sejarah’, “antropologi sejarah’, “geografi sejarah’, dan “ekonomi
sejarah” mulai lazim dipakai untuk menunjukkan adopsinya sejarah ke dalam
disiplin-disiplin ilmu ini dan diadopsinya disiplin ilmu ini ke dalam ilmu
sejarah.
Sebagaimana
yang terjadi di Eropa, transformasi penulisan sejarah di Indonesia pun awalnya
didominasi oleh sejarah politik, sejarah difungsikan sebagai medium pendidikan
kewarganegaraan, pengokohan nasionalisme, dan pencarian identitas
ke-Indonesiaan. Sejarah kemudian hadir dan diadopsi menjadi bagian dalam
kurikulum pendidikan nasional sampai hari ini.
Persepsi
umum terhadap mata pelajaran Sejarah, dianggap mata pelajaran
yang tidak menarik, membosankan, sulit dan lain-lain yang menunjukkan
sebenarnya siswa tidak menyukai pelajaran itu. Keadaan ini dapat diperparah
jika guru yang mengajarkannya monoton, terlalu
teoretis, dan abstrak,
kurangnya buku ajar, ditambah kurikulum yang selalu
berubah (Hasan, 2011). Sebagai contoh adalah ada jarak yang relatif jauh antara
materi pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan realitas yang dihadapi siswa
di masyarakat. Teori-teori yang di ajarkan oleh guru pelajaran sejarah kadang
tidak tepat atau malah berbeda dengan yang dihadapi
siswa dalam realitas masyarakat. Hal ini yang kadang membuat siswa tidak
suka dengan pelajaran sejarah karena cenderung hanya hafalan dan tidak
aplikatif (Amin, 2011).
Selain
itu sejarah dalam pandangan masyarakat awan masih identik dengan politik masa
lalu. Secara konten, sejarah yang disajikan kepada masyarakat melalui kurikulum
pendidikan sejarah sebagian besar hanya membahas seputar politik, kekuasaan,
dan revolusi. Padahal apa yang dimaksud dari sejarah dan ruang lingkup sejarah
itu luas cakupannya, sejarah dapat merambah ke berbagai aspek dan bidang
dalam kehidupan manusia.
Konsepsi Sejarah Ekonomi
Sejarah ekonomi telah didefinisikan dalam
berbagai perspektif, tidak ada definisi tunggal. Elias Tuma (1971) misalnya
mengutip penjelasan Tawney, mengemukakan perhatian sejarawan ekonomi pada usaha
manusia memperoleh income dalam sumber daya terbatas,
pengelompokan-pengelompokan sosial yang muncul darinya, dan masalah-masalah
yang menyertainya. Daftar definisi masih bias diperpanjang karena setiap
sarjana atau generasi sarjana dalam cara pandang yang dianggap paling sesuai
menurutnya. Anton Haryono (2011) menambahkan bahwa peran sejarawan lebih lanjut
adalah memperluas serangkaian penelitian dari pengalaman suatu generasi atau
masyarakat tertentu ke pengalaman umat manusia. Definisi yang lebih baru
memahami sejarah ekonomi sebagai bidang penelitian dasar untuk menganalisis
seluruh proses perkembangan ekonomi, menyajikan fakta-fakta empiris yang jauh
lebih beragam dari pada hasil kerja lapangan satu zaman, sekaligus dapat
menjadi sumber bagi konsep-konsep dan dasar untuk menguji hipotesis-hipotesis.
Menurut
Barry E. Supple, sejarah ekonomi adalah studi tentang usaha manusia dalam
memenuhi kebutuhan terkait barang dan jasa, institusi-institusi, dan hubungan
yang muncul darinya, perubahan teknik dan pandangan sehubungan dengan usaha
ekonominya. Sementara itu, W.J. Ashley merangkum suatu cakupan tentang basis
material kehidupan sosial, cara kebutuhan dan perlengkapan hidup yang
dihasilkan, institusi distribusi, perubahan-perubahan dalam metode pertanian,
industri, perdagangan dan usaha untuk melacak perkembangan (Kuntowijoyo, 2003).
Elias
Tuma (1971) menyatakan bahwa sebaiknya konsepsi sejarah ekonomi haruslah
bersifat umum, lengkap, operasional, dapat diukur, dan relevan bagi
masalah-masalah yang dipelajarinya. Konsepsi sejarah yang memenuhi kualifikasi
ini bisa didasarkan pada perubahan ekonomi, sehingga problem utamanya adalah
analisis perubahan. Menurut konsepsi ini, studi sejarah ekonomi merupakan suatu
analisis kuantitatif dan/atau kualitatif tentang perubahan ekonomi tertentu;
meliputi observasi dan identifikasi perubahan; perincian indikator-indikator,
seleksi, klasifikasi, dan analisis data; serta upaya menarik kesimpulan tentang
sebab-akibat perubahan ekonomi.
Mengenai
masalah dasar yang kemudian di analisis sejarah ekonomi, Elias Tuma (1971)
berpendapat bahwa berkaitan dengan interpretasi kausal dan generalisasi. Asumsi
yang mendasari interpretasi kausal adalah bahwa setiap kejadian disebabkan oleh
kejadian lain atau rangkaian kejadian. Sejarawan masuk ke dalam studi tentang
kausalitas dalam pengertiannya paling luas, mempertanyakan hubungan antara
sebab – akibat, terutama dalam situasi kompleks perilaku manusia.
Perubahan
sebagai Fokus Studi
Segala
sesuatu di dunia ini selalu mengalami perubahan. Dalam bidang politik dan
kekuasaan misalnya mengenal revolusi dan evolusi dalam perubahannya, maka
bidang ekonomi juga mengenalnya. Anton Haryono (2011) mengandaikan pengaruh
revolusi industri terhadap kehidupan manusia dan perekonomian pun tidak kalah
mendasar dengan pengaruh Revolusi Prancis terhadap kehidupan politik dan kenegaraan.
Sebelum sampai pada masa revolusi industri yang serba uang dan pasar, jauh di
masa lampau terdapat sistem perekonomian pra-pasar yang relative amat sederhana.
Terkait
perubahan pola perekonomian juga nampak dalam karya John Hicks (1969) yang
menjelaskan tentang hubungan antara variabel-variabel dalam perekonomian yang
interaksinya secara berangsur angsur-angsur menghasilkan perubahan
terus-menerus (continuation theory). Joseph Schumpter (1949) misalnya kemudian
melihat perubahan ekonomi ini sebagai respon kreatif dari sebuah fenomena yang
berpengaruh terhadap usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan, atau sebaliknya
respon kreatif dari manusia dalam pemenuhan kebutuhannya menghadirkan sebuah
perubahan terhadap perekonomian. Namun konteks perubahan ini bukan sekedar
peningkatan atau kemunduran, lebih jauh Elias Tuma (1971) juga menganggap bahwa
stagnansi juga sama pentingnya dengan peningkatan atau kemunduran, karena hal
ini merupakan masalah yang perlu dipecahkan. Dalam studi sejarah sendiri
perubahan adalah suatu hal yang tak asing, di mana kemudian perubahan-perubahan
ini disusun secara naratif dalam bentuk kronologi dan periodesasi yang runut,
untuk memperlihatkan ada sebuah proses perubahan yang terjadi dalam objek atau
topik sejarah tertentu.
Dalam
bidang ilmu ekonomi sendiri, terutama cabangnya ekonomi pembangunan, hal-hal
yang berkaitan dengan perubahan ekonomi juga dikaji dalam bentuk pertumbuhan
ekonomi yang berkaitan dengan proses kenaikan output perkapita dalam jangka
panjang (Supardi, 2011).
Indikator
Perubahan Ekonomi
Dalam
menyusun mengukur perubahan dibutuhkan alat ukur atau tolak ukur. Dalam
perspektif sejarah ekonomi, Elias Tuma (1971) mengemukakan dua indikator yang
dapat diamati, yakni indikator primer dan sekunder. Pertanyaan tentang akibat
dari perilaku ekonomi memerlukan studi tentang indikator-indikator primer,
misalnya distribusi pendapatan dapat berubah karena program-program pemerintah.
Sedangkan untuk menjelaskan lebih jauh mengapa program pemerintah dapat
mempengaruhi distribusi pendapatan dijelaskan melalui indikator sekunder.
Indikator
sekunder membutuhkan teori lebih lanjut yang relevan dalam menjelaskan sebuah
perubahan, misalnya untuk memperkirakan perubahan pada sektor investasi karena
perubahan suku bunga, memerlukan pengetahuan tentang suku bunga dan investasi.
Indikator sekunder diperlukan untuk menjelaskan perubahan, sementara itu
indikator primer untuk mengukur, mengenali, dan mendeskripsikan perubahan
(Haryono, 2011). Indikator primer bersifat lebih deskriptif dan indikator
sekunder lebih analitik. Dalam hal ini sejarawan harus menggunakan teori-teori
ekonomi yang relevan dalam menginterpretasikan data-data yang ada.
Selain
itu studi tentang institusi-institusi ekonomi dalam mengukur perubahan ekonomi
juga dapat dikategorikan sebagai indikator sekunder. Memakai institusi sebagai
indikator sekunder perubahan ekonomi merupakan pengakuan atas kemampuannya
dalam mengatur perilaku ekonomi (Haryono, 2011). Contohnya, perubahan dalam
institusi kredit dapat menyebabkan perubahan tingkat produksi dan kemakmuran;
perubahan dalam institusi persaingan mungkin sekali membawa perubahan dalam
efisiensi, produktivitas, dan distribusi. Oleh karena itu sejarawan ekonomi
dapat pula memulai studinya dengan memperhatikan institusi-institusi ekonomi
yang ada dan kemudian mengamati perubahan yang terjadi terhadap akibat-akibat
ekonomisnya.
Ukuran
Perubahan dan Standarisasi Data
Ukuran
akan mudah dipahami bila data bersifat kuantitatif. Data kuantitatif memiliki
banyak keuntungan, yakni mengurangi ambiguitas komunikasi, memungkinkan bagi
ketelitian, dan memberikan kesimpulan statistik secara tetap. Namun biasanya
sejarawan ekonomi dapat menemui kesulitan dalam hal ketidakterjangkauan,
ketidaktetapan, dan ketidakhitungan data. Oleh karena itu sebaiknya dibutuhkan
standarisasi data agar data konsisten dan seragam. Bila menghadapi
kendala-kendala itu, Tuma (1971) menjelaskan, (1) untuk memecahkan masalah
ketidakterjangkauan dengan memperkirakan data yang tidak tersedia berdasarkan
data yang lain, (2) masalah ketidaktetapan berhubungan dengan perbedaan nilai
dan konsepsi antara periode satu dengan periode lainnya., (3)ntuk
ketidakhitungan yang biasanya informasi dari periode-periode awal tidak berupa
data kuantitatif, kemudian akan dikuantifikasikan dengan nilai bayangan
(Haryono, 2011).
Seleksi dan
Klasifikasi Data
Melakukan
pemilahan terhadap data merupakan salah satu tahap dalam penelitian. Elias Tuma
(1971) memberikan rekomendasi bahwa teori-teori ekonomi dan statistik akan
sangat membantu dalam menjelaskan konsep-konsep dan hubungan yang digambarkan
dalam data. Sebelum tahap ini dilakukan terlebih dahul sudah dilakukan
standarisasi data.
Klasifikasi
merupakan langkah penting untuk perbandingan, kesimpulan dan pengajuan
hipotesis. Langkah ini meliputi pengelompokan data dalam kategori-kategori yang
didasarkan pada arti, fngsi, dan ciri-ciri fisik. Klasifikasi menyatakan
pemahaman terhadap basis konseptual data dan pengetahuan lengkap tentang
problem studi. Namun klasifikasi tidak dapat dipisahkan dari analisis dan
pelaporan data karena skema konseptual atau kerangka teoretik klasifikasi harus
sama seperti yang dipakai dalam analisis.
Kerangka
Konseptual dan Eksplanasi Perubahan
Kerangka
konseptual mungkin tidak begitu mendesak bagi sejarah deskriptif, karena hanya
menggambarkan keadaan yang ada, atau lebih berurusan kepada masalah “apa yang
terjadi” dan sampai pada batas tertentu dengan “bagaimana hal itu terjadi”.
Namun bagi sejarah analitis, kerangka konseptual adalah hal mendasar.
Kebutuhan pertama bagi analisis yang penuh makna adalah kerangka konseptual, yakni
seperangkat konsep yang berfungsi untuk menentukan kategori-kategori dan untuk
mengenali hubungan-hubungan yang relevan dengan pokok persoalan yang sedang
dipelajari. Kerangka konseptual melayani dua fungsi, yaitu fungsi definisi
untuk konsistensi dan kemudahan komunikasi serta fungsi penjelas untuk
menerangkan tentang sebuah fenomena (Haryono, 2011).
0 Coment:
Posting Komentar