Pages

Labels

Senin, 14 Mei 2018

A Short Introduction of Economic History



Pada awal abad ke-19 sejarah politik mulai dominan dengan Leopold Von Ranke sebagai sejarawan yang menonjol masa itu. Ranke memang tidak menolak mentah-mentah sejarah sosial, tapi buku-bukunya pada umumnya mencerminkan hal ini. Kurang diminatinya sejarah sosial pada masa itu disebabkan beberapa alasan. Pertama, pada periode ini pemerintahan di Eropa mulai memandang sejarah sebagai alat untuk meningkatkan persatuan bangsa, pendidikan kewarganegaraan. Ketika Jerman dan Italia baru berdiri dan negara yang lebih tua seperti Perancis dan Spanyol masih terjebak oleh primordialisme, pengajaran sejarah nasional di sekolah dan universitas mendorong terciptanya integrasi sejarah dan politik. Kedua, revolusi kesejarahan yang terkait dengan Ranke adalah sebuah revolusi tentang sumber dan metode, yaitu suatu perubahan dari penggunaan sejarah lama atau kronik ke penggunaan arsip resmi pemerintah. Sejarawan mulai secara teratur menggeluti arsip dan mengembangkan teknik-teknik yang lebih baik untuk menilai keterandalan (reliabilitas) dari dokumen. Dengan ini mereka berpendapat penulisan sejarah mereka lebih objektif dan ilmiah dibandingkan yang dibuat oleh pendahulu mereka (Burke, 1986).
Pada akhir abad ke-19, sejumlah sejarawan berpandangan berbeda dengan aliran Ranke, salah satu pengkritik paling vocal adalah Karl Lamprecht yang mengkritik lembaga sejarah Jerman yang terlalu menitik beratkan pada politik dan orang-orang besar saja. Sejarah menurut Lamprecht utamanya adalah ilmu psikologi sosial. Pendekatan psikologi inilah yang dia terapkan dalam History of German. Selain itu Otto Hintze menyatakan jenis sejarah yang dibuat oleh Lamprecht lebih maju dari pada aliran Ranke, oleh Hintze menyampaikan kita ingin mengetahui tidak hanya gugus dan puncak gunung melainkan juga kaki gunungnya, tidak hanya tinggi dan dalamnya daratan melainkan keseluruhan benuanya.
Di Prancis tahun 1920-an adalah era gerakan sejarah jenis baru, yang dipimpin oleh dua guru besar Universitas Strasbourg, March Bloch dan Lucien Favre. Jurnal yang mereka terbitkan Annales d’Histoire Economique et Sociale, mengkritik tajam sejarah tradisional dan dominasi sejarah politik, keinginan mereka ialah mengganti sejarah politik dengan sejarah yang lebih luas dan manusiawi, suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat kepada penceritaan disbanding analisis struktur, sebuah istilah yang menjadi favorit sejarawan Perancis dengan julukan Mazhab Annales.
Pada tahun 1960-an, buku-buku sejarah dengan pendekatan sosial banyak diterbitkan semisal Political Systems of Empires, karya Samuel Eisenstadt (1963), The First New Nation, karya Seymour M. Lipset (1963), The Vendee oleh Charles Tilly (1964), Social Origins of Dictatorship and Democracy oleh Barrington Moore (1966), dan Peasant Wars oleh Eric Wolf (1969), semuanya menyuarakan dan mendorong kesamaan tujuan antara teorisasi dan sejarawan sosial. Selanjutnya sampai dua puluh tahun kemudian kecendrungan ini terus berlanjut. Semakin banyak antropolog sosial, terutama Clifford Geertz dan Marshal Sahlins memasukkan dimensi sejarah dalam kajian-kajiannya. Sekelompok sosiolog Inggris, utamanya Ernest Gellner, John Hall, dan Michael Mann, telah menghidupkan kembali proyek abad ke-18 mengenai sejarah filsafat Adam Smith, Karl Marx, dan Max Webber, yang tujuannya adalah untuk membedakan berbagai tipe masyarakat serta menjelaskan proses peralihan dari suatu tipe ke tipe yang lain. Istilah “sosiologi sejarah’, “antropologi sejarah’, “geografi sejarah’, dan “ekonomi sejarah” mulai lazim dipakai untuk menunjukkan adopsinya sejarah ke dalam disiplin-disiplin ilmu ini dan diadopsinya disiplin ilmu ini ke dalam ilmu sejarah.
Sebagaimana yang terjadi di Eropa, transformasi penulisan sejarah di Indonesia pun awalnya didominasi oleh sejarah politik, sejarah difungsikan sebagai medium pendidikan kewarganegaraan, pengokohan nasionalisme, dan pencarian identitas ke-Indonesiaan. Sejarah kemudian hadir dan diadopsi menjadi bagian dalam kurikulum pendidikan nasional sampai hari ini.
Persepsi umum terhadap mata pelajaran Sejarah, dianggap  mata  pelajaran  yang tidak menarik, membosankan, sulit dan lain-lain yang menunjukkan sebenarnya siswa tidak menyukai pelajaran itu. Keadaan ini dapat diperparah jika guru yang mengajarkannya  monoton,   terlalu   teoretis,   dan   abstrak,   kurangnya   buku ajar, ditambah kurikulum yang selalu berubah (Hasan, 2011). Sebagai contoh adalah ada jarak yang relatif jauh antara materi pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan realitas yang dihadapi siswa di masyarakat. Teori-teori yang di ajarkan oleh guru pelajaran sejarah kadang tidak tepat atau malah berbeda  dengan  yang  dihadapi  siswa dalam realitas masyarakat. Hal ini yang kadang membuat siswa tidak suka dengan pelajaran sejarah karena cenderung hanya hafalan dan tidak aplikatif (Amin, 2011).
Selain itu sejarah dalam pandangan masyarakat awan masih identik dengan politik masa lalu. Secara konten, sejarah yang disajikan kepada masyarakat melalui kurikulum pendidikan sejarah sebagian besar hanya membahas seputar politik, kekuasaan, dan revolusi. Padahal apa yang dimaksud dari sejarah dan ruang lingkup sejarah itu luas cakupannya, sejarah dapat merambah ke berbagai aspek dan bidang dalam kehidupan manusia. 
Konsepsi Sejarah Ekonomi
Sejarah ekonomi telah didefinisikan dalam berbagai perspektif, tidak ada definisi tunggal. Elias Tuma (1971) misalnya mengutip penjelasan Tawney, mengemukakan perhatian sejarawan ekonomi pada usaha manusia memperoleh income dalam sumber daya terbatas, pengelompokan-pengelompokan sosial yang muncul darinya, dan masalah-masalah yang menyertainya. Daftar definisi masih bias diperpanjang karena setiap sarjana atau generasi sarjana dalam cara pandang yang dianggap paling sesuai menurutnya. Anton Haryono (2011) menambahkan bahwa peran sejarawan lebih lanjut adalah memperluas serangkaian penelitian dari pengalaman suatu generasi atau masyarakat tertentu ke pengalaman umat manusia. Definisi yang lebih baru memahami sejarah ekonomi sebagai bidang penelitian dasar untuk menganalisis seluruh proses perkembangan ekonomi, menyajikan fakta-fakta empiris yang jauh lebih beragam dari pada hasil kerja lapangan satu zaman, sekaligus dapat menjadi sumber bagi konsep-konsep dan dasar untuk menguji hipotesis-hipotesis.
Menurut Barry E. Supple, sejarah ekonomi  adalah studi tentang usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan terkait barang dan jasa, institusi-institusi, dan hubungan yang muncul darinya, perubahan teknik dan pandangan sehubungan dengan usaha ekonominya. Sementara itu, W.J. Ashley merangkum suatu cakupan tentang basis material kehidupan sosial, cara kebutuhan dan perlengkapan hidup yang dihasilkan, institusi distribusi, perubahan-perubahan dalam metode pertanian, industri, perdagangan dan usaha untuk melacak perkembangan (Kuntowijoyo, 2003).
Elias Tuma (1971) menyatakan bahwa sebaiknya konsepsi sejarah ekonomi haruslah bersifat umum, lengkap, operasional, dapat diukur, dan relevan bagi masalah-masalah yang dipelajarinya. Konsepsi sejarah yang memenuhi kualifikasi ini bisa didasarkan pada perubahan ekonomi, sehingga problem utamanya adalah analisis perubahan. Menurut konsepsi ini, studi sejarah ekonomi merupakan suatu analisis kuantitatif dan/atau kualitatif tentang perubahan ekonomi tertentu; meliputi observasi dan identifikasi perubahan; perincian indikator-indikator, seleksi, klasifikasi, dan analisis data; serta upaya menarik kesimpulan tentang sebab-akibat perubahan ekonomi.
Mengenai masalah dasar yang kemudian di analisis sejarah ekonomi, Elias Tuma (1971) berpendapat bahwa berkaitan dengan interpretasi kausal dan generalisasi. Asumsi yang mendasari interpretasi kausal adalah bahwa setiap kejadian disebabkan oleh kejadian lain atau rangkaian kejadian. Sejarawan masuk ke dalam studi tentang kausalitas dalam pengertiannya paling luas, mempertanyakan hubungan antara sebab – akibat, terutama dalam situasi kompleks perilaku manusia.
Perubahan sebagai Fokus Studi
Segala sesuatu di dunia ini selalu mengalami perubahan. Dalam bidang politik dan kekuasaan misalnya mengenal revolusi dan evolusi dalam perubahannya, maka bidang ekonomi juga mengenalnya. Anton Haryono (2011) mengandaikan pengaruh revolusi industri terhadap kehidupan manusia dan perekonomian pun tidak kalah mendasar dengan pengaruh Revolusi Prancis terhadap kehidupan politik dan kenegaraan. Sebelum sampai pada masa revolusi industri yang serba uang dan pasar, jauh di masa lampau terdapat sistem perekonomian pra-pasar yang relative amat sederhana.
Terkait perubahan pola perekonomian juga nampak dalam karya John Hicks (1969) yang menjelaskan tentang hubungan antara variabel-variabel dalam perekonomian yang interaksinya secara berangsur angsur-angsur menghasilkan perubahan terus-menerus (continuation theory). Joseph Schumpter (1949) misalnya kemudian melihat perubahan ekonomi ini sebagai respon kreatif dari sebuah fenomena yang berpengaruh terhadap usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan, atau sebaliknya respon kreatif dari manusia dalam pemenuhan kebutuhannya menghadirkan sebuah perubahan terhadap perekonomian. Namun konteks perubahan ini bukan sekedar peningkatan atau kemunduran, lebih jauh Elias Tuma (1971) juga menganggap bahwa stagnansi juga sama pentingnya dengan peningkatan atau kemunduran, karena hal ini merupakan masalah yang perlu dipecahkan. Dalam studi sejarah sendiri perubahan adalah suatu hal yang tak asing, di mana kemudian perubahan-perubahan ini disusun secara naratif dalam bentuk kronologi dan periodesasi yang runut, untuk memperlihatkan ada sebuah proses perubahan yang terjadi dalam objek atau topik sejarah tertentu.
Dalam bidang ilmu ekonomi sendiri, terutama cabangnya ekonomi pembangunan, hal-hal yang berkaitan dengan perubahan ekonomi juga dikaji dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang (Supardi, 2011). 
Indikator Perubahan Ekonomi
Dalam menyusun mengukur perubahan dibutuhkan alat ukur atau tolak ukur. Dalam perspektif sejarah ekonomi, Elias Tuma (1971) mengemukakan dua indikator yang dapat diamati, yakni indikator primer dan sekunder. Pertanyaan tentang akibat dari perilaku ekonomi memerlukan studi tentang indikator-indikator primer, misalnya distribusi pendapatan dapat berubah karena program-program pemerintah. Sedangkan untuk menjelaskan lebih jauh mengapa program pemerintah dapat mempengaruhi distribusi pendapatan dijelaskan melalui indikator sekunder.
Indikator sekunder membutuhkan teori lebih lanjut yang relevan dalam menjelaskan sebuah perubahan, misalnya untuk memperkirakan perubahan pada sektor investasi karena perubahan suku bunga, memerlukan pengetahuan tentang suku bunga dan investasi. Indikator sekunder diperlukan untuk menjelaskan perubahan, sementara itu indikator primer untuk mengukur, mengenali, dan mendeskripsikan perubahan (Haryono, 2011). Indikator primer bersifat lebih deskriptif dan indikator sekunder lebih analitik. Dalam hal ini sejarawan harus menggunakan teori-teori ekonomi yang relevan dalam menginterpretasikan data-data yang ada.
Selain itu studi tentang institusi-institusi ekonomi dalam mengukur perubahan ekonomi juga dapat dikategorikan sebagai indikator sekunder. Memakai institusi sebagai indikator sekunder perubahan ekonomi merupakan pengakuan atas kemampuannya dalam mengatur perilaku ekonomi (Haryono, 2011). Contohnya, perubahan dalam institusi kredit dapat menyebabkan perubahan tingkat produksi dan kemakmuran; perubahan dalam institusi persaingan mungkin sekali membawa perubahan dalam efisiensi, produktivitas, dan distribusi. Oleh karena itu sejarawan ekonomi dapat pula memulai studinya dengan memperhatikan institusi-institusi ekonomi yang ada dan kemudian mengamati perubahan yang terjadi terhadap akibat-akibat ekonomisnya.
Ukuran Perubahan dan Standarisasi Data
Ukuran akan mudah dipahami bila data bersifat kuantitatif. Data kuantitatif memiliki banyak keuntungan, yakni mengurangi ambiguitas komunikasi, memungkinkan bagi ketelitian, dan memberikan kesimpulan statistik secara tetap. Namun biasanya sejarawan ekonomi dapat menemui kesulitan dalam hal ketidakterjangkauan, ketidaktetapan, dan ketidakhitungan data. Oleh karena itu sebaiknya dibutuhkan standarisasi data agar data konsisten dan seragam. Bila menghadapi kendala-kendala itu, Tuma (1971) menjelaskan, (1) untuk memecahkan masalah ketidakterjangkauan dengan memperkirakan data yang tidak tersedia berdasarkan data yang lain, (2) masalah ketidaktetapan berhubungan dengan perbedaan nilai dan konsepsi antara periode satu dengan periode lainnya., (3)ntuk ketidakhitungan yang biasanya informasi dari periode-periode awal tidak berupa data kuantitatif, kemudian akan dikuantifikasikan dengan nilai bayangan (Haryono, 2011).
Seleksi dan Klasifikasi Data
Melakukan pemilahan terhadap data merupakan salah satu tahap dalam penelitian. Elias Tuma (1971) memberikan rekomendasi bahwa teori-teori ekonomi dan statistik akan sangat membantu dalam menjelaskan konsep-konsep dan hubungan yang digambarkan dalam data. Sebelum tahap ini dilakukan terlebih dahul sudah dilakukan standarisasi data.
Klasifikasi merupakan langkah penting untuk perbandingan, kesimpulan dan pengajuan hipotesis. Langkah ini meliputi pengelompokan data dalam kategori-kategori yang didasarkan pada arti, fngsi, dan ciri-ciri fisik. Klasifikasi menyatakan pemahaman terhadap basis konseptual data dan pengetahuan lengkap tentang problem studi. Namun klasifikasi tidak dapat dipisahkan dari analisis dan pelaporan data karena skema konseptual atau kerangka teoretik klasifikasi harus sama seperti yang dipakai dalam analisis.
Kerangka Konseptual dan Eksplanasi Perubahan
Kerangka konseptual mungkin tidak begitu mendesak bagi sejarah deskriptif, karena hanya menggambarkan keadaan yang ada, atau lebih berurusan kepada masalah “apa yang terjadi” dan sampai pada batas tertentu dengan “bagaimana hal itu terjadi”.  Namun bagi sejarah analitis, kerangka konseptual adalah hal mendasar. Kebutuhan pertama bagi analisis yang penuh makna adalah kerangka konseptual, yakni seperangkat konsep yang berfungsi untuk menentukan kategori-kategori dan untuk mengenali hubungan-hubungan yang relevan dengan pokok persoalan yang sedang dipelajari. Kerangka konseptual melayani dua fungsi, yaitu fungsi definisi untuk konsistensi dan kemudahan komunikasi serta fungsi penjelas untuk menerangkan tentang sebuah fenomena (Haryono, 2011). 

0 Coment:

Posting Komentar