Pages

Labels

Minggu, 27 Desember 2020

The Art of Forgiveness


The Art of Forgiveness

“In times of universal deceit, telling the truth will be a revolutionary act” -George Orwell

Banyak keteladanan yang bisa diambil dari perjalan hidup nabi Muhammad ﷺ, karakter beliau, atau sekedar sikap/tingkah laku nabi. Mungkin kisah ini tak asing lagi bagi kita. Sering kisah dan hikmahnya diperdengarkan oleh para ulama, da'i, dan mubaligh melalui panggung khutbah, tabligh akbar, atau dalam peringatan hari besar Islam. 

Pada tahun 620 Masehi, Nabi bersama Zaid bin Haritsah datang ke Thaif untuk mengajak penduduk Thaif memeluk Islam dan tidak menyembah berhala. Kabilah yang paling berpengaruh di Thaif saat itu adalah Bani Thaqafi dan kedatangan Rasul ditujukan untuk menemui petinggi kabilah tersebut. 

Nabi disambut oleh tiga orang anak pimpinan Bani Thaqafi yaitu Abd Yalail, Mas'ud, dan Khubaib. Namun permintaan Rasulullah ditolak mentah-mentah, salah seorang petinggi kabilah berujar: “Kami hidup turun-temurun di sini. Tiada kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur, serba berkecukupan. Kami tak perlu agamamu. Juga tidak perlu dengan segala ajaranmu. Kami punya Tuhan yang bernama Al-Latta, yang memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah. Dia telah memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan kekayaan yang kami miliki.” 

Mendapat penolakan tersebut Nabi kemudian memohon maaf dan meminta izin untuk undur diri. Petinggi kabilah menjawab dengan memberikan ultimatum dan tiada penghormatan kepada Nabi, sembari mengancam akan melaporkannya kepada Bani Quraisy di Kota Mekkah. Di luar rumah pemimpin kabilah sekumpulan penduduk Thaif menghadang Nabi dan Zaid dan memerintahkan anak-anak kota Thaif untuk melempar mereka hingga terluka. Selain melakukan penganiayaan, penduduk Thaif yang menghadang Nabi juga menyerang nabi secara verbal dengan makian dan ejekan agar Nabi dan Zaid tidak kembali lagi ke Thaif.

Setelah keluar dari kota Thaif, Nabi Muhammad ﷺ hampir rubuh namun dapat meneruskan perjalanan dan beristirahat disebuah perkebunan milik 'Utbah bin Rabi'ah. Pemilik kebun yang melihat nabi dan Zaid dipersekusi kemudian bersimpati dan menolong mereka sampai kembali pulih untuk melanjutkan perjalan pulang ke Mekkah. 

Dalam keadaan terluka, nabi kemudian berdo'a: “Allahumma ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan diriku? Kepada orang jauh yang berwajah muram kepadaku? atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Aku tidak peduli selama Engkau tidak murka kepadaku. Sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat. Janganlah Engkau timpakan kemurkaan-Mu kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya kecuali dengan Engkau.”

Allah SWT kemudian mengutus Jibril untuk menghampiri beliau. Jibril menawarkan kepada Nabi Muhammad untuk memberikan hukuman kepada penduduk Thaif dengan disiapkannya gunung-gunung untuk ditimpakan atau hukuman lain yang diinginkan Rasulullah ﷺ.

Setelah mendapatkan hinaan dan kekerasan, kemudian mendapat tawaran luar biasa dari Jibril, apa jawaban Rasulullah ﷺ? Ia malah terkejut dengan tawaran tersebut, lalu menjawab Jibril, “Walaupun orang-orang ini tidak menerima, tidak mengapa. Aku berharap dengan kehendak Allah, anak-anak mereka pada suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.”

Begitulah kisah singkat di masa-masa awal dakwah Rasulullah ﷺ, khususnya upaya beliau berdakwah kepada penduduk Thaif. Dari kisah tersebut ada keteladanan luar biasa. Secara singkat kita mungkin bisa mengambil kesimpulan bagaimana kesabaran dan ketabahan Rasulullah ﷺ dalam menyampaikan dakwahnya, serta jiwa pemaaf yang dimiliki oleh Rasulullah bahkan kepada orang-orang yang telah dzalim dan melakukan persekusi secara verbal maupun fisik kepada dirinya.

Sekalipun rasul diberikan otoritas untuk membalas, ternyata beliau lebih memilih untuk optimis dan berharap suatu saat keturunan penduduk Thaif beriman kepada Allah SWT. Di lain kesempatan tetapi masih dalam konteks yang sama pernah juga Rasulullah ﷺ "jangan marah bagimu surga."

Memaafkan bukan bentuk kelemahan atau inferiority. Ada dua kasus yang mirip, di mana seseorang diberikan otoritas untuk menghakimi atau sekurang-kurangnya membenci namun kemaafan lahir dari kedua personal itu. Dalam sejarah tercatat titik awal ekspansi bangsa Turki ke Asia minor (Anatolia, Turki modern) adalah pertempuran Manzikert antara Byzantium (Romawi Timur) dan Seljuk. Pertempuran major tersebut berakhir dengan kekalahan telak Byzantium dan tertawannya kaisar Romanos IV Konstantine oleh Sultan Seljuk, Muhammad bin Dawud Chagri atau lebih dikenal dengan julukan Alp Arslan. 

Arslan bertanya kepada Romanos IV: "apa yang akan kau lakukan bila aku yang dibawa kepadamu sebagai tawanan?" Romanos IV menjawab, "Mungkin aku akan membunuhmu dan memamerkan kepalamu di jalanan Konstantinopel." Lantas Arslan kemudian menjawab "hukumanku jauh lebih berat. Aku memaafkanmu dan memberikan kebebasan kepadamu." Mengingat rivalitas antara Byzantium dan Seljuk sebelum pertempuran Manzikert itu, reaksi Arslan mengejutkan. Kalaupun tidak menghukum langsung, bisa saja Arslan meminta ransum kepada keluarga Romanos IV sang kaisar kaya raya Byzantium, tetapi sebaliknya dia malah memperlakukan dengan baik dan membebaskan Romanos IV tanpa syarat.

Kisah lainnya yang menarik. Di tahun 2017, seorang ayah bernama Abdul Mounim Jitmoud, memaafkan dan memeluk pembunuh anaknya sebelum pembacaan dakwaan di pengadilan Kentucky, USA. Jitmoud menjelaskan alasannya karena "forgiveness is the greatest gift of charity in Islam.” Saat di mana dia memiliki peluang untuk sekedar membenci pembunuh anaknya, terlebih mengharukan sukacita keadilan yang didapatkannya, tuan Jitmoud sebaliknya memilih untuk memaafkan. 

Selain kemaafan. Ada hikmah lain yang dapat diambil dari keteladanan Rasulullah ﷺ ketika mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari penduduk Thaif. Dari kasus tersebut saya pribadi berpendapat, kondisi sosial-kultural Mekah dan sekitarnya belum acceptive kepada seruan ketauhidan dan ajaran Islam. Kebanyakan dari mereka merasa mapan dengan tradisi dan tuhan-tuhan lama yang telah turun-temurun dianutnya. Kehadiran seruan tauhid dan nilai keIslaman seakan menjadi asing bagi mereka. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ tetap gigih untuk menyampaikan kebenaran dan sabar menghadapi segala bentuk penolakan. Namun, tercatat dalam sejarah tidak semua situasi disikapi dengan reaksi persuasif dan kesabaran. Semenjak hijrah praktis segala bentuk persekusi dan perampasan aset milik kaum muslimin di Mekah mulai disikapi berbeda.

Menurut saya situasi di dekade kedua abad ke-20 ini, kaum muslimin kembali berada pada posisi inferior, baik secara global maupun khususnya di Indonesia. Kita menyaksikan secara nyata sebagian negara mayoritas muslim lebih memilih melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan pendudukan Israel dan membuat kerjasama ekonomi bersama Israel dalam sengketa Mediterania Timur, ketimbang membuka blokade ekonomi terhadap Qatar. Juga kita saksikan sebagian negara mayoritas muslim melakukan boikot diam-diam terhadap kebab Turki, dan menggantikannya dengan Burger Yunani. 

Di Indonesia, hal anomali lainnya dapat kita temukan dalam hubungan intrareligius muslim di tengah masyarakat. Sebagai contoh sekitar seminggu yang lalu, hanya karena ucapan milad kepada seorang pengusaha, sebagian masyarakat sampai menyerukan boikot kepada produk jasa pengusaha tersebut. Padahal di tengah pandemi seharusnya dapat saling bahu, solid, untuk dapat memulihkan perekonomian, tetapi bagi sebagian orang hal tersebut lebih penting ketimbang mengikuti seruan boikot produk Prancis. Beberapa indikasi serupa menyebabkan saya berkesimpulan bahwa telah terjadi pergeseran nilai. 

Pendapat saya, dalam situasi sekarang nilai-nilai Islam luhur kembali kepada keterasingan, baik secara global maupun nasional. Stigma, perpecahan, konflik, dan Islamophobia global semakin merumitkan kondisi. Tak jarang di banyak tempat kita dengar ketidakadilan dan bahkan bagi sebagian orang mengalami persekusi. Ketika dalam situasi rumit ini, ada satu kekuatan yang akan melampaui tindakan injustice dan persekusi, yaitu kemaafan. Sebagaimana teladan Rasulullah ﷺ berikan pada kaum muslimin, dengan kemaafan akan menegasikan segala "ketidakadilan yang disukai" oleh mayoritas orang. Ingatlah satu nasehat nabi Muhammad ﷺ "jangan marah, jangan marah, bagimu surga."



Untuk my Sonshine "Affan Lafiza Akmal"

Tembilahan, 27 Desember 2020.

1 Coment: