Sudah sampai Jalan Malagas satu
perempatan didepannya Jalan Gadjah Mada, ratusan orang sudah menanti di sana,
dan sudah ada Regu Dinas Pemadam Kebakaran Tembilahan yang melintas finish
untuk memastikan sebagai juara lomba ini. Pimpinan regu kami terus berseru
membangkitkan semangat, untuk berusaha mengejar rival kami, Regu SMA 1
Tembilahan Kota, mereka sudah menyalip kami sebelum masuk ke Jalan Malagas
tadi. Ahh.. meskipun sudah berusaha,
jarak tak berubah, toh tak mungkin
kami berlari sprint mengejar lawan, tak ada tenaga lagi.
Penonton yang menunggu di garis finish
bersorak-sorai menyemangati tim-tim yang akan mencapai finish. Selang kira-kira
10 detik setelah tim SMA 1 Tembilahan Kota mencapai finish, kami pun akhirnya
melintas finish juga. Selepas melewati garis finish aku langsung menepi dan
berbaring di aspal jalan. Sempat terasa hampir kehilangan kesadaran, segera aku
buka mata agar otak tetap bekerja, kuambil sebotol air dan meminum setengahnya,
setengahnya lagi kusiram ke kepalaku. Hari itu sepertinya aku sudah melampaui
batas kemampuan fisik tubuhku. Bagi kami anak muda yang masih agak emosional
bersikap, Peringkat ke-3 lomba rasanya masih tak cukup kalau harus dibelakang
rival yang selama perjalanan saling kejar-mengejar dan provokasi.
Gerak Jalan 17 Kilometer, hanya kurang 28
Kilometer lagi untuk layak disebut Marathon. Lomba ini diikuti oleh semua
instansi pemerintah daerah dan sekolah menengah yang ada di Inhil, total
pesertanya ratusan. Aku tak tau percis apakah memang total jaraknya 17
kilometer. Yang jelas rute yang harus dilewati setiap regu mulai start di Jalan
Gajah Mada depan Polres Indragiri Hilir dan Dinas Pendapatan Daerah (sekarang
dirubuhkan menjadi taman kota), melewati Jalan Jend. Sudirman,
Jl. H. Arif parit 11 lurus sampai ke simpang Parit 6, belok ke kanan di jalan
Makam Pahlawan, belok ke kanan ke Jalan Baharuddin Yusuf (Telaga Biru), sampai ke
ke simpang empat Jl. Batang Tuaka, masuk ke Jl. Batang Tuaka hingga pertigaan,
belok ke Jalan Pembangunan, terus sampai ke Stadion Sungai Beringin, masuk ke
Jalan Pendidikan menuju ke utara ke arah sungai Indragiri,
belok kanan ke Jalan Sudirman, setelah lewat Parit 13 belok kanan ke Jalan
Malagas, kemudian belok kiri kea rah Jalan Gajah Mada hingga finishnya kembali
ke tempat start dimulai.
Aku tidak ingat jelas iven ini digelar
dalam rangka memperingati apa. Yang jelas, waktu itu tahun 2008, belum genap
setahun aku berstatus pelajar SMA. Hanya dua orang siswa kelas X yang mewakili
sekolah kami, termasuk aku. Waktu mengambil nilai olahraga lari jarak jauh
keliling Jalan Saptamarga sampai Jalan Parit Enam, kebetulan aku finish pertama
dengan waktu yang relatif jauh meninggalkan kawan sekelas lainnya. Sejak SMP
kalau di jam olahraga disuruh berlari jarak jauh, saya selalu bersaing di
posisi pertama. Yah, ini berlari
jarak jauh, anda tidak perlu memiliki power untuk berlari dengan cepat seperti
dalam sprint, yang dibutuhkan adalah
stamina dan endurance untuk terus
berlari tanpa henti. Kalau berlari sprint
dengan tinggi badan yang belum sampai 155 cm itu, satu langkah teman-teman
lainnya sama dengan dua langkah kaki saya. Memang bila dibandingkan dengan
postur siswa laki-laki lainnya, aku tergolong pendek.
Dua minggu sebelum perlombaan kami
diseleksi oleh dua orang guru olahraga, aku lupa nama bapak-bapak tersebut,
tapi masih ingat wajahnya, bulan Ramadhan kemarin kebetulan bertemu dan tegur
sapa dengan salah satunya di Masjid Al-Huda, tapi tak mungkin aku bertanya “siapa nama bapak? Saya lupa!” bisa kualat nanti saya, hehe. Ada belasan orang yang diseleksi dari kelas X dan XI. Tiga
hari berturut-turut kami diseleksi dengan latihan lari setiap hari di waktu
pagi, saya pun harus bawa baju ganti setiap hari, karena setelah pukul 10.00
pagi kami kembali belajar seperti biasa. Latihannya adalah berlari dari sekolah
menuju Parit 3 dan kembali lagi, total jarak kami harus berlari kira-kira
sekitar 7-9 Kilometer.
Satu regu yang akan dipilih
beranggotakan sepuluh orang ditambah satu orang cadangan. Dihari ketiga
diumumkan orang-orang yang diikutkan dalam perlombaan. Hanya aku dan Rio
Harahap yang terpilih dari kelas X, selebihnya dari kelas XI. Pimpinan regu
kami Andika orangnya tinggi kurus, kemudian anggota lainnya; Reza berkulit
gelap seperti aku namun badannya berisi dan kekar masih keluarga dari Andika;
Daston orangnya tinggi besar, dia wajar terpilih karena memang atlet sepakbola,
tergabung dalam Tim Piala Suratin (turnamen sepakbola pelajar
Indonesia) mewakili Inhil, dia adalah momok kalau tim kelasku uji coba bermain
bola melawan kelasnya; kemudian ada Bayu, orang yang ternyata
masih bubuhan (kerabat) jauh
denganku, baru tahu ketika ada kumpul keluarga di Desa Pengalihan Enok; Rio,
orang batak tapi berbahasa melayu karena besar di Guntung, dia ini berkesan
karena baru beberapa minggu masuk sekolah, eh
nantang aku dan beberapa orang teman sekelas kelahi karena masalah sepele, aku hanya
menghindar karena ndak mungkin lawan
orang yang melihat wajahnya saja, aku harus mendongak ke atas; Saide, beliau
siswa aktif dalam Pramuka dan OSIS, sekarang aku dapat informasi kalau beliau
lagi melanjutkan S2 dibiayai LPDP, subhanallah
mungkin dia orang pertama dari sekolah kami yang dapat Beasiswa LPDP,
beasiswa yang aku sudah satu kali gagal mendapatkannya; selebihnya aku tidak
ingat nama atau ciri-cirinya.
Hari-hari berikutnya paska seleksi kami
masih tetap latihan ringan, membuat yel-yel, dan melatih kekompakan berlari.
Formasi kami tiga berbanjar, kami berbaris berdasarkan tinggi badan, yang
berpostur lebih tinggi berada didepan, tentunya aku yang paling kecil berada
dibelakang. Pimpinan regu berada di samping sambil membawa peluit sebagai
aba-aba. Kami diberikan seragam kaos putih bernomor punggung beserta celana pendek berwarna oranye, baju itu agak kebesaran untuk tubuhku yang kecil. Kami juga
diberikan tips dalam berlari agar tetap menghemat energi, meskipun bagiku itu
tak banyak membantu. Tanpa sepengetahuan guru, salah seorang anggota tim
menyarankan kami untuk doping dengan
cara meminum cairan infus, bagiku itu tidak masuk akal karena tak ada
penjelasan medisnya.
Dihari lomba, minggu tepatnya, dua hari
sudah kami hanya latihan ringan untuk recovery
tenaga. Pagi itu saya kenakan sepatu favorit saya merk North Star berwarna hitam putih produksi Bata menutup hingga mata
kaki mirip sepatu pemain basket, selama SMA hanya sekali saya membeli sepatu selain
merk tersebut, harganya relatif murah waktu itu hanya seharga Rp. 45.000.
Berangkat menuju ke lapangan Jalan Gajah Mada. Rupanya ide tentang cairan infus
tersebut memang direalisasikan oleh kawan-kawan, kami berkumpul di belakang
Gedung Dispenda yang sudah kosong karena relokasi, masing-masing minum tetesan
air infus tersebut, aku tetap menolak, ada beberapa orang lagi yang juga
menolak, dibungkus infusnya tertulis NaCl, bukannya itu Natrium Klorida atau garam, entah apa efeknya aku tak tahu dan tak
ingin mencari tahu.
Doorr...
bunyi
pistol dengan selongsong kosong menggema di udara, setiap regu berlari sesuai
urutan. Kami start dari posisi belasan, berdasarkan undian, meskipun aku merasa
itu tidak fair, tapi tidak masalah toh
ketika lari di jam olahraga sekolah startnya juga tidak berbarengan. Polisi
dengan motor besar mengiringi rombongan peserta lomba, di setiap persimpangan
selalu ada Polantas yang mengatur arus lalu lintas, dua orang guru kami dan
anggota cadangan bersiap menyusul dengan sepeda motor membawa air kotak dan
botol beserta gula merah. Gula merah, ini yang aku anggap bermanfaat untuk menjaga
tenaga dan mengurangi kehausan selama berlari. Setelah start, tim-tim di
belakang kami melaju cepat, kulihat regu dari dinas pemerintah kebanyakan sudah
berumur 30-40an, regu-regu lain terus melaju kencang, kami tetap berlari
seperti biasa, dengan ritme yang sama, tidak mau buru-buru menaikkan kecepatan.
Sekitar 40 meter di depan kami ada regu SMA 1 Tembilahan Kota juga berlari
konstan, mereka start lebih dulu dari pada kami.
Riuh kota Tembilahan semarak karena iven
ini, masyarakat sepanjang jalan bersorak sorai atau sekedar melihat peserta
berlari, sekali-sekali penonton menyapa peserta yang dikenalnya memberikan
semangat. Regu Dinas Pemadam Kebakaran melaju menyalip kami dengan cukup cepat,
anggotanya masih usia 20-30 tahunan, wajar sepertinya mereka punya fisik
sekaligus stamina yang kuat, mereka telah teruji karena di Tembilahan sering
terjadi kebakaran, dampak pemadaman listrik bergiliran serta rumah-rumah warga
banyak yang terbuat dari kayu dan berhimpitan.
Mulai dari Jalan H. Arief satu per satu
regu sudah melambat dan berjalan kaki, tak pelak kami yang berlari dengan ritme
yang tetap ini mengejar satu per-satu regu lain, pun juga rival kami didepan
karena jarak kami masih tak berubah. Rivalitas ini sebenarnya kalau
diingat-ingat, tak terlalu penting, hanya ego anak muda saja, dan karena kedua
sekolah sama-sama terbaik di Inhil, meskipun sekolahku lebih dianggap favorit
oleh sebagian besar masyarakat, namun tak ada survey yang membuktikannya ini
hanya rasa-rasa saja hehe. Setiap
sekolah tentu bagus karena mendidik generasi muda bangsa.
Disaat
regu SMA 1 Tembilahan Kota melambat di Jalan Telaga Biru, kami masih berlari
dan berhasil mengejar mereka. Mungkin karena yel-yel kami yang dikeraskan
ketika menyalip, rival menjadi terprovokasi untuk kembali mengejar. Di paruh
kedua perjalanan dari Parit 10 mulai terasa kesulitan, keringat sudah mengucur
deras, silih berganti anggota regu minta rehat diganti dengan cadangan yang
mengiringi dengan motor, begitupun aku. Berulang kali air dilemparkan ke
anggota tim. Panitia terus mengawasi dengan sepeda motor mengiringi peserta di
perjalanan.
Kami berada diurutan kedua, sekitar 200
meter didepan kami ada regu pemadam kebakaran, aku dapat melihatnya saat
melintasi Jalan Batang Tuaka. Di belakang, regu rival juga masih sedia
membuntuti kami, saat kami rehat mereka berlari, setelah jarak semakin dekat
kami pun berlari, mereka rehat kami terus berlari sampai mayoritas anggota tim
meminta untuk melambat. Pimpinan regu tak lagi aktif meniup peluit, siapa yang
tahan dengan nafas terseok-seok sambil meniup peluit. Hanya ketika kami mulai
berlari dan berhenti saja peluit ditiupkan. Di Jalan Pembangunan, aspalnya
hitam mengkilap permukaan jalannya mulus, rumah-rumah masih jarang, karena
pemukiman waktu itu belum banyak, rival kami berhasil memperkecil jarak dan
mengejar kami, namun ketika mereka rehat, giliran kami yang mengejar, terus berulang.
Di Jalan Pendidikan kami tetap di posisi
kedua, namun sekarang regu Dinas Pemadam Kebakaran sudah sangat jauh di ujung
Jalan Pendidikan, matahari pun semakin terik di setengah tinggi menuju posisi
vertikal ke arah bumi. Kami tetap berusaha menjaga jarak yang tidak terlalu
jauh dengan regu di posisi ketiga. Kali ini berbeda tim kami dan rival tak ada
bersuara dengan yel-yelnya lagi, bahkan kami sama-sama berjalan cepat, tidak
berlari seperti biasa. Botol air yang dilempar kearahku, tidak aku peruntukkan
untuk minum, malah untuk membasahi kepala. Namun seperti biasa, langkah kami
setim masih seirama, “kiri, kiri,
kiri-kanan-kiri”.
Tepat di Jalan Malagas, kami disalip
oleh rival, tanpa suara, semua orang lelah, kami hanya berjalan cepat saja,
mereka tampaknya masih memiliki sedikit tenaga untuk berlari kecil meskipun
hanya beberapa meter. Dari jauh terlihat orang-orang ramai di sekitaran garis
finish, pimpinan regu dan beberapa orang yang masih kuat menyeru untuk
menaikkan kecepatan, masih banyak yang menolak karena tak sanggup, aku pun
sebenarnya tak sanggup lagi tapi jikalau yang lain melaju berlari aku akan
ikut. Ingin rasanya segera terbaring penuh, menghela nafas, terbayang-bayang
menyantap air buah kelapa dengan campuran sirup Cocopandan hmm.. segarnya.
“Finis,
Juara ke-3, SMA Negeri 1 Tembilahan Hulu…”, teriak spektator acara sewaktu kami melintas di garis finis,
sayangnya tak ada supporter kami yang hadir, hanya dua orang guru olahraga yang
sedia mendampingi dan memberikan semangat. Hampir shutdown otakku sewaktu berbaring di aspal, tak tau apa penyebabnya
tetapi hal itu terasa. Nafas terhuyung-huyung, di sebelah ku berjejer rekan
setim ada yang terbaring dan terduduk kelelahan. Aku tak ingat pastinya pukul
berapa waktu itu, yang jelas sewaktu start dari pukul delapan kami tiba di
finis sekitar kurang dari pukul 10.00. Hampir dua jam waktu kami mengelilingi
Kota Tembilahan dari barat ke timur, hilir ke hulu, bila ini dilakukan dengan
sepeda motor dengan kecepatan standar mungkin tak kurang dari 20 menit,
Tembilahan bukan kota yang luas, tetapi padat penduduknya.
Begitulah, terkadang tanpa sadar kita
melewati batas kemampuan, atau mungkin memang sebenarnya kita mampu untuk
melakukannya. Aku membayangkan para atlet Marathon yang harus berlari 45
Kilometer dengan catatan waktu hanya 2 Jam lebih, itu sangat luar biasa, tentunya
atlet Marathon tekun berlatih sehingga mampu mencapai ketahanan fisik seperti
itu. Kita manusia sebenarnya diberikan kemampuan yang merata oleh tuhan, meski
ada kelebihan masing-masing seperti kelebihan secara fisik, kecerdasan
intelektual, psikomotor, emosional sosial dsb. Itu hanyalah bekal, hal yang
akan meningkatkan kapasitas kita adalah setiap gerakan yang kita lakukan,
apakah itu usaha, latihan, dan ketekunan, bahkan dengan ini orang yang
biasa-biasa saja dapat meningkat jauh melebihi kemampuannya, banyak aku temukan
orang-orang seperti ini.
0 Coment:
Posting Komentar