Menjelang tahun
1920-an, bermunculan berbagai organ yang bergerak di bidang politik selain Partai
Sarekat Islam. Tahun 1923 terjadi perpecahan di tubuh Perhimpunan Indonesia
(selanjutnya disebut PI) di Belanda, sehingga para anggotanya memutuskan
kembali ke Hindia. Salah satu mantan anggota PI yang kembali adalah Soetomo
yang kemudian mendirikan Indonesiche Studie Club (ISC) di Surabaya.
Selain itu anggota PI lainnya, Isqak Cokroadisoeryo dan beberapa mahasiswa
teknik di Bandung yaitu Anwari dan Soekarno membentuk Algemene Studie Club (ASC)
di Bandung pada 29 November 1925. Soekarno merupakan sosok yang sangat tanggap
membaca situasi perpolitikan di Nusantara. Ia merupakan salah satu murid
Tjokroaminoto, setelah kurang dari satu tahun kepemimpinan ASC digantikan dari
Isqak kepada Soekarno.
Tahun 1926, situasi
Indonesia berubah, karena pada tahun ini, muncul pemberontakan PKI terhadap
Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat dan Banten. Sikap pemerintah yang
represif membuat melemahnya pergerakan nasional, Soekarno kemudian menggagas
ASC untuk bertransformasi sebagai sebuah partai politik. Pada Januari 1927, Partai Sarekat Islam
menyelenggarakan kongres nasional di Pekalongan, ketika berlangsungnya kongres,
Soekarno sebagai salah satu anggota Partai Sarekat Islam –yang juga saat itu menjabat ketua ASC-
menyerukan pembentukan sebuah federasi dengan organ pergerakan politik lain.
Usulan Soekarno tersebut mendapat sambutan baik dari peserta kongres lainnya.
Seiring dengan
pembentukan federasi ini, Soekarno yang sebelumnya memiliki gagasan tersebut
justru kembali aktif di ASC dan mengupayakan perubahan bentuk ASC menjadi
Partai Nasional Indonesia (selanjutnya disebut PNI). Pembentukan PNI tidak
menghambat proses pembentukan federasi, tepat tanggal 17-18 Desember 1927,
resmi berdiri Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI) yang tergabung PSI, BU, PNI, Pasundan, Sumateranenbond, Sarekat
Madura, kaum Betawi, dan lain-lain. Federasi ini berfungsi sebagai “suatu timbunan kekuatan dan satu gelombang
tenaga rakyat Indonesia, satu ikhtiar dari satu kemauan”.
Federasi baru ini
kemudian menjadi wadah baru perjuangan organ-organ bumiputera dalam membangun
persatuan gerakan. Menurut Soekarno pembentukan PPPKI merupakan langkah maju
dalam mempertegas posisi antara bumiputera dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Perjuangan bumiputera dalam PPPKI bukan persoalan hak dan kewajiban, karena
pada dasarnya hak dan kewajiban telah menjadi milik rakyat bumiputera
seutuhnya. Di satu sisi, perpaduan organisasi yang berbeda haluan dalam PPPKI,
sebagai bentuk kemajuan dalam membingkai kesadaran nasional bumiputera, di sisi
lain keberagaman tersebut justru menjadi persoalan baru di dalamnya. Partai Sarekat Islam
berharap anggota PPPKI menerapkan sikap politik yang sama yaitu non-kooperasi,
akan tetapi, hal demikian tidak dapat dipaksakan karena tentunya anggota
federasi lain telah menentukan sikap politiknya masing-masing. Sikap politik
yang berbeda juga berkaitan dengan ideology lembaga masing-masing. Perbedaan
melebar di antara sikap ideology nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler.
Pertentangan tersebut
berkaitan dengan nasionalisme atau kebangsaan. Perdebatan muncul ketika PPPKI
yang dipimpin oleh Soekarno disokong sepenuhnya oleh kelompok nasionalis sekuler.
Soekarno banyak terpengaruh pemikirang Ernest Renan, Karl Kautsky, Karl Radek,
dan Otto Bauer yang saat itu sangat popular dengan makna nasionalisme. Soekarno
sebagai bagian dari kelompok nasionalis sekuler memandang kecintaan terhadap Negara
dahulu telah melahirkan sosok seperti Gadjah Mada dan berbagai sosok laiinya.
Soekarno berpendapat untuk menciptakan dan mempertahankan persatuan, harus
membangun serta memupuk rasa kecintaan terhadap tanah air, kesediaan yang tulus
dalam membaktikan diri kepada tanah air, dan rasa kesediaan diri untuk
mengesampingkan kepentingan partai demi kecintaan terhadap tanah air.
Agoes Salim –perwakilan kelompok nasionalis Islam- memandang berbeda tentang nasionalisme. Salim
memandang pemikiran Soekarno tentang memuliakan tanah air di atas
segala-galanya, tentu data mencairkan dan melunturkan nilai-nilai ke-tauhid-an. Salim menjelaskan:
Cinta kebangsaan,
karena nama kebangsaan dan riwayat kebangsaan, nyata hanyalah buah bibir, yang
berfaedah bagi rakyat kebanyakan, hanya menjadi dasar bagi “Komidi Bourgoeis”. Cinta bangsa, yang
mementingkan nasib rakyat sebangsa, sebanyak yang lebih melarat, yang
menghendaki persamaan dalam sebangsa antara segala golongan, yang dengan
persamaan hak menuju maslahat umum, yang mengutamakan orang sebangsa daripada
kebangsaan, cinta bangsa inilah yang sesungguhnya menghendaki kemerdekaan
bangsa segenapnya, bagi keselamatan dan kesejahteraan rakyat sebangsa sekalian,
karena kewajiban kepada sesama manusia yang sama bertanah air ke negeri yang
satu. Inilah Cinta Bangsa
yang menjadi asas SI. Cinta bangsa yang hendaak menjunjung tinggi ummat
sebangsa, tetapi tidak mengangkat kebangsaan menjadi berhala tempat menyembah
dan memuja. Dan Cinta Bangsa ini jugalah hendaknya menjadi asas dalam tiap-tiap kaum politik,
sekalipun asas politiknya terambil dari kebangsaan.
Salim bukan berarti
menganggap persatuan dan cinta tanah air tidak penting. Salim ingin
menyampaikan bahwa ungkapan kecintaan yang demikian jangan hanya
berlaku bagi segelintir saja, tetapi berlaku bagi keseluruhan orang. Salim juga
mengingatkan bahwa kebangsaan bukan sebagai alasan atau dasar sebuah bangsa
melakukan penindasan kepada bangsa lain. Salim khawatir, kecintaan terhadap
tanah air lebih mengutamakan orang sebangsa daripada segenap bangsa yang hidup
dalam satu tanah air. Kecintaan terhadap tanah air akan memunculkan persaingan
untuk memperebutkan kekayaan, kemegahan, dan kebesaran bangsa atas bangsa lain.
Bagi Salim semangat cinta tanah air yang demikian hanya didasari oleh
nilai-nilai kebendaan semata. Semangat cinta tanah air atas dasar kebendaan,
tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditampilkan oleh sejarah tentang
sepak terjang nasionalisme bangsa di belahan dunia lain yang kemudian menindas
bangsa lainnya.
Bagi Salim, cinta
tanah air tentunya harus didasari oleh nilai-nilai ketuhanan, bukan kebendaan.
Cinta tanah air yang demikian akan membawa kepada cinta tanah air yang lebih
luhur melampaui kebendaan. Cinta tanah air yang dpaat mewujudkan segenap hak
dan keadilan serta kebaikan yang batas-batasnya telah ditentukan oleh Allah
SWT. Salim mengutip al-Qur’an Surat 14, ayat 37: Ya tuhan kami, sesungguhnya
aku telah menenmpatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai
tanaman di dekat rumah engkau (baitullah) yang dihormati. Ya tuhan kami-agar
mereka mendirikan shalat- maka jadikanlah hati sebahagian manusia cendrung
kepada mereka dan beri rezekilah mereka berupa buah-buahan, mudah-mudahan
mereka bersyukur.
Salim
menambahkan bahwa
rasa cinta tanah air yang mengelapkan mata Lodewijk XIV (Louis XIV),
Napoleon,
Otto von Bismarck, Bennito Mussolini dan lain-lain. Bahwa rasa cinta
tanah air
yang menjadi penyebab agresivitas kebangsaan di Eropa untuk saling
menyerang. Bagi seorang pemimpin
dan aktivis Islam seperti Agus Salim, pandangan nasionalisme berlebihan
akan memperbudak manusia untuk menjadi penyembah tanah air.
Karena alasan itu, Agus Salim tegas menyatakan bahwa nasionalisme harus
diletakkan di bawah kerangka “pengabdian kita kepada Allah.” Dan sejalan
dengan
itu, menurutnya, maka prinsip dasarnya haruslah Islam.
Ahmad Hassan, seorang
pemimpin organisasi reformis Persatuan Islam (Persis), mengkritik nasionalisme yang berwatak chauvinistik. Menurutnya, posisi
nasionalistik seperti itu sebanding dengan pandangan orang-orang Arab mengenai
kesukuan (‘ashabiyah) sebelum datangnya Islam. Mohammad Natsir, murid
Ahmad Hassan dengan latar belakang pendidikan Barat, Natsir sebagaimana gurunya
mengkhawatirkan bergulirnya gagasan nasionalisme Soekarno menjadi suatu bentuk ‘ashabiyah
baru. Gagasan itu, dalam pandangannya, dapat mengandung “fanatisme” yang
dapat memutuskan tali ukhuwah seluruh kaum Muslimin di berbagai bangsa.
Bagi Natsir, gagasan nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis.
Karena itu sebagaimana Agus Salim, ia menyatakan bahwa perjuangan mencapai
kemerdekaan Indonesia harus diarahkan atau diniatkan sebagai bagian dari
pengabdian kepada Allah.
Natsir juga percaya
bahwa nasionalisme Indonesia harus berwatak Islami. Untuk alasan itu, ia
memperkenalkan gagasan kebangsaan Islam. Ia mendasarkan keyakinannya ini
kepada kenyataan historis bahwa Islam lah yang pada awalnya mendefinisikan
nasionalisme Negara Indonesia.
Natsir menulis dalam
Pembela Islam: Pergerakan Islam lah –yakni SI- yang lebih dahulu membuka jalan
medan politik kemerdekaan di tanah air ini, yang mula-mula menanamkan bibit
persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang
mula-mula menanampersaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia
dengan tali ke-Islaman.
Dengan pandangan
tentang kebangsaan yang seperti itu, Natsir berpendapat bahwa kemerdekaan
bukanlah tujuan akhir gerakan nasionalis Islam. Sebaliknya, kemerdekaan harus
dipandang untuk sampai kepada ridha Allah.
Perdebatan berlanjut.
Soekarno menegaskan bahwa nasionalisme yang dia maksud adalah nasionalisme
ke-timur-an , dan bukan nasionalisme yang berlebihan –Chauvinisme-. Soekarno
kemudian menyamakan sifat nasionalismenya sama dengan nasionalisme yang
dimaknai oleh ;Mahatma Gandhi dan Aurobindo Ghose di India; Mustafa Kemal Attaturk di Turki;
Amanullah Khan di Iran; dan Dr. Sun Yat Sen di China.
Soekarno mengklaim
bahwa nasionalisme lah yang menjadikan orang-orang Indonesia “perkakasnya
Tuhan”, dan membuat mereka “hidup dalam roh”. Mengacu kepada esai kontroversial
dari Soekarno berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”, di dalam esai
tersebut ada sebuah obsesi Soekarno untuk menyatukan apa yang ia lihat sebagai
tiga aliran ideologis yang membentuk pandangannya untuk melihat nasionalisme
dalam cara yang demikian lebar untuk memungkinkan setiap kecendrungan membentuk
aliansi yang pas dalam rangka pencapaian kemerdekaan. Untuk itu, berkali-kali
ia menyatakan bahwa “tidak ada sesuatu pun yang menghalangi kaum nasionalis
untuk bekerjasama dengan kaum Muslim dan kaum Marxis". Pada awal 1940-an,
polemik-polemik itu berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik itu
berkembang menyentuh masalah yang lebih penting, yakni hubungan politik antara
Islam dan Negara.
Dari
tulisan awalnya
mengenai Islam, yang diterbitkan dalam jurnal Pandji Islam yang berbasis
di
Medan pada 1940, Soekarno mendukung pemisahan Islam dari Negara.
Meskipun demikian, ia tidak menyatakan bahwa sama sekali tidak boleh ada
hubungan apapun antara kedua wilayah religio-politik ini. Dapat
dipastikan, ia menentang gagasan mengenai hubungan formal-legal anatara
Islam dan
Negara. Khususnya dalam sebuah Negara yang tidak semua pendudukanya
menganut
agama Islam. Baginya , model hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan
perasaan diskriminasi, khususnya kepada masyarakat non-muslim di Negara
tersebut.
Dalam esainya
berjudul “Saya Kurang Dinamis,” ia menulis: maka realitet itu menunjukkanlah
kepada kita bahwa asas persatuan agama dan Negara itu bagi penduduknya yang
tidak bulat 100% semua Islam, tidak bisa berbarengan dengan demokrasi. Buat negeri
yang demikian itu, hanyalah dua alternatif, hanya dua hal yang dipilih: satu
diantaranya, persatuan Negara-agama, tetapi zonder demokrasi: atau
demokrasi, tetapi Negara dipisahkan dari agama! Persatuan Negara-agama, tetapi
mendurhakai demokrasi dan main dictator, atau: setia kepada demokrasi, tetapi
melepaskan asas persatuan Negara dan agama (Soekarno, Dibawah Bendera
Revolusi).
Menurut Nasihin, perdebatan yang antara Salim-Natsir
dan Soekarno tidak pada konteks yang sama tentang hakikat atau makna
nasionalisme Indonesia. Salim menitikberatkan kepada dasar atau semangat cinta
tanah air yang akan dibangun oleh bangsa Indonesia.
Paham pemisahan Islam
dari Negara ini memunculkan kritik dari sejumlah pemimpin dan aktivis Islam.
Bertolak belakang dengan gagasan-gagasan Soekarno, Natsir percaya kepada watak
holistik Islam, ia amat mendukung pernayataan H.A.R Gibb, yang memang mendapat
sambutan luas di kalangan Muslim, bahwa “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu
sistem agama saja, dia itu adalah kebudayaan yang lengkap”. Bagi Natsir, Islam tidak hanya terdiri dari praktik-praktik ritual,
melainkan juga meliputi prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur
hubungan antara individu dan masyarakat.
Berdasarkan
perspektif tersebut, Natsir berpendapat bahwa Islam dan Negara adalah dua
entitas religio-politik yang menyatu. “Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi
alat, urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan, satu intergreerend
deel dari Islam" tulis Natsir dalam Capita Selecta. Terlepas dari itu, natsir juga
mengakui bahwa, islam hanya memberikan garis-garis umum. Aturan-aturan yang
lebih terperinci mengenai operasional sebuah Negara, tergantung kepada
kemampuan para pemimpinnya untuk melaksanakan ijtihad mereka sendiri,
dengan syarat semuanya harus dilakukan dengan cara-cara demokratis. Dengan
demikianlah tambahnya, ia menolak pandangan yang menyatakan Islam menentang
gagasan kemajuan dan modernitas.
Polemik Salim-Natsir dan Soekarno masih bersifat eksploratif. Sejak
semula, keduanya tidak bermaksud merumuskan konsepsi-konsepsi yang siap-pakai
mengenai hubungan Negara dan agama. Namun keduanya juga tidak bermaksud
menemukan kesamaan di antara mereka. Keduanya hanya ingin menunjukkan
posisi-posisi ideologis-politis masing-masing. Konsekuensinya,
perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan di antara
kedua kelompok yang saling berseberangan.
0 Coment:
Posting Komentar