Kecintaan
terhadap tanah air dan etnosentrisme adalah hal yang sifatnya manusiawi, sama
halnya kecendrungan setiap manusia dalam hal beragama dan pengakuan atas
eksistensi tuhan. Seorang manusia secara sosial akan melekat dengan
identitas-identitas sosial dan kultural yang hadir dalam hidupnya. Nasionalisme
sendiri adalah hal yang sangat penting dalam sebuah bentuk Negara bangsa yang
membutuhkan suatu ikatan yang kuat di antara Negara dan masyarakatnya guna
mempercepat perkembangan dan kesejahteraan Negara. Lagi-lagi tentang
nasionalisme, nasionalisme dapat hadir dari kesadaran batin dan ideologis yang
mendalam ataupun sekedar perasaan emosional karena euphoria hari kemerdekaan,
pertandingan sepakbola Timnas atau olahraga lainnya.
Perjalanan
setiap bangsa tentu memiliki dinamikanya masing-masing. Semisal Amerika Serikat
dengan dua abad lebih perjalanan kebangsaannya. Paska Declaration of Independence, dibayangi oleh sikap paradoks (yang
diwakili oleh Negara dan sebagian besar rakyatnya) mereka dalam menerjemahkan
liberalisme dan kemanusiaan yang diagungkan. Namun ternyata perlakuan
diskriminatif dan perbudakaan masih dilakukan terhadap kelompok rasial kulit
hitam. Pertentangan mengenai isu slavery ini
bukan hanya berada di ruang perdebatan ide, namun hingga meluas kepada
kepentingan ekonomi dan Perang Saudara antar Negara bagian di Amerika Serikat,
hingga perang inilah kemudian yang mampu menghentikan legalitas praktek
perbudakan di Amerika Serikat. Namun tidak berhenti disitu, perlakuan
diskriminatif dan marginalisasi terdahap penduduk kulit hitam pun masih terjadi
paska pengakuan civil rights terhadap
penduduk kulit hitam meskipun sudah jauh berkurang.
Di Indonesia,
perdebatan yang banyak mengemuka selama perjalanan republik Indonesia adalah
seputar hubungan hubungan antara Islam dan Negara, Islam dan nasionalisme,
mayoritas vis a vis minoritas, religiusitas
vis a vis sekularisme, liberalisasi
ekonomi vis a vis nasionalisasi
ekonomi. Terakhir perbedaan ini menjurus kepada upaya saling klaim sebagai
entitas yang paling berjasa, paling layak disebut nasionalis, pewaris sah
republik, klaim paling Pancasilais, dan menguatnya sentimen minority uprising terhadap kelompok
mayoritas akhir-akhir ini terjadi di Indonesia.
Bila ditarik
akar sejarahnya bahkan kita bisa kembali di masa-masa pergerakan nasional
hampir seratus tahun yang lalu. Kelompok Islam dan aristokrat sama-sama
‘menanamkan sahamnya’ dalam pembentukan identitas kebangsaan Indonesia. Bila
dijabarkan lebih jauh, misalnya dari kalangan Islam salah satu variabelnya
adalah kaum ulama dan santri yang tetap menjaga suhu perlawanan rakyat pribumi
dalam melawan penindasan penjajah dan melawan upaya kristenisasi yang pasti
melekat dan dibawa oleh penjajah barat. Atau di kalangan aristokrat yang
kemudian tidak terlalu menganggap penting integrasi agama dan negara, mereka
adalah orang-orang yang beruntung memiliki akses lebih dahulu terhadap
pendidikan, faktor penting yang sangat penting dalam melahirkan semangat kebangsaan.
Bagaimana
kemudian posisi kaum minoritas agama dan ras semasa perjuangan kemerdekaan?
Benar adanya dikala itu dukungan perlawanan dan nasionalisme tidak terlalu kuat
dan sepenuhnya diperjuangkan oleh kelompok minoritas ini, yang boleh dikatakan
juga tidak mendapat luka yang parah dari efek penjajahan, separah yang dialami
oleh pribumi dan kelompok Islam. Namun bukan berarti itu adalah pembenaran dan
penggeneralisasian secara keseluruhan, dalam referensi-referensi sejarah kita
masih dapat menemukan orang-orang atau perkumpulan/organisasi dari kelompok
minoritas agama dan ras ini turut andil dalam perjuangan kebangsaan.
Meski –dalam
perjalanannya- banyak terjadi persinggungan bahkan meluas kepada konflik fisik antara
kelompok-kelompok yang berbeda dalam menerjemahkan visi bangsa Negara. Banyak
mungkin sikap arif-bijaksana dan saling menghormati di antara pendahulu bangsa yang
dapat diteladani. Semisal satu peristiwa yang banyak menimbulkan kontroversi
dan konfrontasi, tentang penyusunan dasar Negara, hal yang dianggap sangat
fundamental dalam bernegara. Bagaimana kebesaran hati Agus Salim, Wahid Hasyim,
Abikusno Cokrosuroso, Abdul Kahar Muzakir, terhadap permintaan perwakilan
daerah timur, A. A. Maramis, terhadap perubahan redaksi Piagam Jakarta. Dalam
konteks konsepsi bernegara persinggungan ini sebenarnya telah selesai dengan
kompromi-kompromi yang dilakukan oleh para founding
fathers bangsa ini.
Kembali munculnya
diskursus ini bisa jadi bermula menjelang Pilkada DKI Jakarta. Politik
pencitraan yang dimainkan oleh beberapa media mainstream lokal dan
internasional terhadap Jokowi (waktu itu masih Walikota Solo) berhasil membangun
popularitas Jokowi yang dianggap oleh sebagian masyarakat muslim sebagai
‘boneka’ dan ‘simbol’ dari kelompok-kelompok yang membawa misi sekularisasi dan
liberalisasi, dua misi yang dianggap tabu oleh kalangan muslim. Di lain sisi phobia dan stigma negatif secara
mendunia terhadap Islam beserta simbol-simbolnya, menempatkan kalangan muslim
dalam posisi terpojok dan defensif. Selain itu secara sadar atau tidak, ada
kecendrungan menyalahkan integrasi agama dan politik ini sebagai penghambat
kemajuan Indonesia, hal yang secara implisit tergambar melalui ide-ide
‘revolusi mental’. Benturan terbuka terkait ide dan penafsiran kebangsaan ini
terpelihara di setiap momen politik nasional sepanjang 2012 s/d sekarang,
semisal Pilpres dan Pilkada DKI 2017.
Sebenarnya tidak
mudah dan perlu analisa yang lebih dalam untuk dapat mengatakan bahwa fenomena
ini mirip seperti ‘politik aliran’ tentang kondisi sosial-politik Indonesia
tahun 1950an, sangat tidak tepat. Karena di era sekarang dinamikanya lebih
kompleks dan motif ideologis sulit dilacak dan dibedakan dengan motif kekuasaan
dan ekonomi.
Lalu pemahaman
seperti apa yang dibutuhkan untuk merekonstruksi nasionalisme di masa depan.
Mmenurut penulis, Negara semestinya mengambil posisi yang netral-penengah dalam
hal mewujudkan keharmonisan Negara dan iklim sosial yang kondusif. Bukan malah
menjadi elemen yang ikut terlibat dalam konfrontasi ini. Seperti halnya yang
terjadi di Amerika Serikat di masa lalu, slogan-slogan humanisme dan kebebasan
individual ternyata tercoreng oleh praktek perbudakan yang dalam beberapa
periode pemerintahan dibiarkan oleh pihak yang berkuasa, dan tentunya saat itu
dilegalkan di beberapa Negara bagian. Bila di Indonesia, mungkin analoginya, slogan
toleransi ternyata tercoreng oleh sikap tebang pilih terhadap suatu golongan atau
kelompok manapun, baik itu minoritas ataupun mayoritas.
Kita tidak akan
akan pernah bisa menghindar dari perbedaan pendapat, semua itu alamiah dan
manusiawi. Penafsiran terhadap Negara dan peruntukannya sendiri akan juga
beragam, tergantung moral values
inventory yang dimiliki oleh setiap penafsirnya. Mungkin contoh sederhananya,
mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila sendiri dalam bentuk suatu makhluk
manusia Pancasilais akan sangat beragam penggambarannya.
Untuk menjaga
persatuan bangsa dan keutuhan NKRI, bangsa kita telah memiliki pengalaman yang
cukup dalam menghadapi dinamika ini, serta memiliki contoh-contoh baik yang
dapat diteladani serta contoh-contoh buruk yang dapat dijadikan pelajaran untuk
lebih menciptakan Negara yang harmonis dan maju. Amerika Serikat pun pernah
berpuluh-puluh tahun terjebak dalam perpecahan oleh isu perbudakan. Bukan
berarti Indonesia tidak memiliki kemampuan yang sama untuk dapat mengkhatamkan
isu-isu hubungan agama dan Negara, toleransi dan sejenisnya.
Bangsa kita kaya
akan pengalaman dari pemerintahan yang militeristik dan otoritarian (orde baru)
hingga pemerintahan demokrasi (reformasi). Republik ini akan semakin matang
seiring hadirnya generasi-generasi baru yang terdidik dan tercerahkan,
menghilangkan pengaruh-pengaruh kolonial dan jiwa terjajah. Namun syarat utama
agar spirit dan value kebangsaan
Indonesia tetap seirama dari generasi ke generasi adalah dengan ‘membaca
Sejarah’, hanya itu. Sejarah memang tidak membutuhkan porsi dan perhatian yang
besar, namun tetap ‘harus/wajib’ ada dalam kehidupan kita.
Sedikit penulis
tuangkan fakta-fakta masa lalu dan kontemporer di atas dan merangkumnya dalam
sebuah tulisan yang bisa jadi subjektif ini, harapannya agar menjadi refleksi
bagi kita semua. Bilamana hakikat kebangsaan kita yang beragam salah satunya
harus diwujudkan dalam bentuk toleransi, toleransi ini pun harus hadir secara adil
dan proporsional. Nasionalitas dan religiusitas, dua hal ini bukanlah bertolak
belakang, sifatnya manusiawi dan alamiah. Kolaborasi keduanya dapat diinstal
dalam karakter seseorang. Bisa jadi suatu saat Indonesia dapat maju berangkat dari
dua karakter ini, dua karakter yang sangat kental berpengaruh dalam kehidupan tema-tema
kebangsaan dan Negara kita.
Atqo
Akmal
Sayembara Penulisan Artikel “Gagasan untuk Indonesia Lebih Baik”
FOMMPAS Universitas Sebelas Maret
0 Coment:
Posting Komentar