Jika ada kekuatan ‘Islam Politik’ yang
pertama kali muncul di Nusantara –yang kemudian menjadi Indonesia- maka itu
bisa dipastikan adalah Sarekat Islam (SI). Berdiri pada 1905 sebagai Sarekat
Dagang Islam (SDI) di Surakarta dan kemudian di Jakarta (1909) dan di Bogor
(1910), tidak ada organisasi massa Islam yang awalnya dimaksudkan menjadi locus
untuk memajukan ekonomi umat Islam, yang begitu cepat terlibat dalam isu
dan aksi-aksi politik praktis.
Syarikat Islam (SI) merupakan pelopor gerakan nasional Indonesia
yang paling awal. Sebagai gerakan masif yang menentang kolonoalisme, SI
menghimpun kekuatan sosial yang bersifat transprimordial, multietnik, dan
ideologis. Kepeloporan SI dalam gerakan nasional dan kontribusinya yang signifikan
bagi Indonesia telah banyak diteliti oleh sejarawan dan ilmuwan politik. Hasil
riset mereka membuktikan bahwa SI merupakan pelopor pergerakan nasional
Indonesia yang paling awal, dan bukan organisasi lain, misalnya Budi Utomo yang
bersifat ‘Jawa sentris’.
SI adalah representasi solitary Islamic
Politics, satu-satunya ekspresi Islam politik, di bawah represi kolonial
Belanda. Sebagai representasi soliter Islam politik, tidak heran jika umat
Islam yang juga beragam menyambut SI dengan penuh euforia. Meski berangkat dari Islam, SI adalah gerakan
kebangsaan pertama, kebangkitan nasional awal, dari berbagai segi. Pertama,
dari sudut keanggotaan dan kepemimpinan
yang mencakup berbagai suku bangsa Nusantara; kedua dari keluasan penyebarannya
yang melintasi batas-batas wilayah dan pulau; ketiga, dari sudut program dan
jargon yang diusung, yang intinya menuntut kemerdekaan Nusantara dari
penjajahan Belanda; dan keempat kemajemukan kelas sosial para pemimpin dan
anggotanya sejak dari kalangan santri, abangan, priyayi, buruh, petani, dan
kaum marjinal lainnya.
Harapan dan ekspektasi terhadap SI juga
beragam; sejak kalangan muslim santri yang memandangnya sebagai tumpuan
‘kebangkitan Islam’ (Islamic revival); kalangan buruh dan petani yang
menggantungkan harapan untuk pembebasan dari ketertindasan ekonomi; dan aktivis
yang melihatnya sebagai ‘kendaraan politik’ untuk mengakhiri penjajahan.
Cikal Bakal Terbentuknya Sarekat Islam
Kolonialisme Belanda memiliki pengaruh terhadap
kehidupan masyarakat Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Harry J. Benda,
bahwa perkembangan-perkembangan yang terjadi di Indonesia tidak sedikit
merupakan akibat kumulatif dari rangsangan pengaruh barat. Peningkatan di
bidang pendidikan bagi rakyat bumiputera –sebagai bagian dari program politik
etis- memiliki andil besar dalam membuka wacana persamaan, dan persatuan bagi
kalangan muda Indonesia. Untuk mencapai persamaan hak, kedudukan serta
kewenangan sebagai sebuah bangsa, kaum muda membentuk perkumpulan bumiputera.
Pada 1906, Tirtoadhisuryo bersama kawan-kawan mendirikan Syarikat Priaji.
Sarekat Priayi adalah sebuah perkumpulan para bangsawan dan priyayi. Tujuan
dari organ ini adalah melalui persatuan para bangsawan dan priyayi untuk
menyejahterakan rakyat bumiputera melalui pendidikan dan pengajaran formal para
anak-anak bangsawan dan priyayi bumiputera (pangreh raja).
Seiring meningkatnya keanggotaan dalam
Sarekat Priyayi, surat kabar menjadi prioritas utama untuk menjalin warta di
antara para anggota. Medan Priyayi itulah nama surat kabarnya dan sejak 1
Januari 1907, pertama kali beredar sebagai surat kabar yang dimiliki
bumiputera. Semakin berkembangnya surat kabar bumiputera, ternyata tidak
dibarengi dengan meningkatnya kelembagaan di dalam Sarekat Priyayi itu sendiri.
Kekuatan Sarekat Priyayi semakin melemah, unsur dominan kelemahan Sarekat
Priyayi adalah terbengkalainya administrasi keuangan serta dasar organisasi
yang bertumpu pada kesatuan para priyayi bumiputera. Dasar persatuan Sarekat Priyayi
semakin mempersempit persebaran anggota dalam sarekat. Ruang gerak sarekat
seolah-olah dibatasi dan tunduk pada aturan-aturan para priyayi yang
sebetulnya, mereka kebanyakan sebagai kaki tangan Pemerintah Hindia Belanda.
Secara politis, kelompok sosial priyayi tidak mampu melawan setiap kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif, karena keterkaitan kaum priyayi
dengan pemerintahan kolonial yang berpihak kepada mereka.
Runtuhnya Sarekat Priyayi menjadi catatan
khusus bagi Tirtoadhisuryo dan kawan-kawan, karena persatuan di kalangan
priyayi belum menjawab tuntutan bersatu bagi seluruh strata bumiputera di
Indonesia. Setelah bubarnya Sarekat Priyayi, tepatnya pada tahun 1908
perkumpulan Budi Utomo (selanjutnya disebut BU) dibentuk. Pembentukan BU
diprakarsai oleh sebagian besar pelajar STOVIA yang terlahir dari kalangan
priyayi juga.
Pada masa awal pemebentukan BU,
Tirtoadhisuryo (pimpinan redaksi Medan Priyayi) menolak tawaran dr. Soetomo
untuk bergabung dalam lembaga tersebut. Tirtoadhisuryo tidak ingin mengulangi
kegagalannya kembali dalam BU yang hanya mengikat persatuan priyayi dan bukan
persatuan seluruh bumiputera tanpa memandang ras, serta golongan dan tidak
dibatasi geografis Jawa, Madura, atau Sumatera.
Pada tahun 1909, Tirthoadhisuryo mendirikan
Sarikat Dagang Islam (selanjutnya disebut SDI). Istilah “dagang” dianggap
mewakili kelompok atau setratifikasi sosial tertentu. Para pedagang, merupakan
bagian dari struktur sosial yang relatif memiliki tingkat kebebasan tinggi
(tanpa tekanan pemerintah), sebagaimana perlakuan pemerintah kepada golongan
priyayi. Bebas atas tekanan ekonomi, serta bebas terhadap tekanan Pemerintah
Kolonoal Belanda.
Sesuai dengan namanya, SDI berasaskan Islam.
Dasar Islam merupakan tanggapan terhadap mayoritas bumiputera yang beragama
Islam. Melalui dasar Islam dan bergerak di bidang perdagangan, kelembagaan
tersebut diharapkan mampu menjawab dan mengikat rasa kesatuan bumiputera
seluruhnya tanpa memandang golongan.
Keadaan perniagaan jang dilakoekan oleh bangsa Islam di Hindia belanda,
djika dibandingkan dengan pri perniagaan bangsa Europa adalah djaoehkoerang
sampoernanja. Martabat dan derajat pedagang Islam di Hindia ini ada sanget
rendahnja. Kerna kekoerangan kesempoernaan itoe, sehingga priboemi bangsa Islam
jang berbangsa tiada begitoe soeka mendjadi kaum pedagang hanja jang teroedak,
melainkan djabatan kepangkatan dan pekerdjaan jang sehoemoer-hoemoer tiada
melepaskan dirinja dari peri perkoelian.
Dalam tulisannya, Tirto melihat adanya
ketimpangan dalam kehidupan para pedagang Islam bumiputera. Para pedagang Islam
bumiputera tidak dapat diimbangkan dengan pedagang Eropa dan Tionghoa. Kaum
pedagang Islam bumiputera akan terus menjadi bangsa koeli karena rendahnya status sosialnya.
SDI menjadi satu-satunya lembaga yang dapat
menampung seluruh strata sosial bumiputera. SDI sebagai perkumpulan yang
disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun permulaan pendiriannya,
telah menarik perhatian banyak kalangan. Berbagai pertemuan dilakukan, dan
secara cepat berdiri cabang-cabang SDI di daerah dengan pusatnya di Buitenzorg (Bogor). Sebagai upaya untuk
membangun ikatan serta persebaran informasi tentang tema-tema pergerakan itu,
Medan Priyayi kembali menjadi penyambung warta bagi seluruh anggota sarekat.
Selain SDI Bogor yang mendapat pengesahan
dari Pemerintah Hindia belanda pada tahun 1909. Di Surakarta sebelumnya telah
berdiri Sarekat Dagang Islam (baca: SDI Surakarta). SDI Surakarta ini berdiri
pada 16 Oktober 1905, dan dipimpin oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik
dari Laweyan.
SDI Surakarta memang tidak mendapat pengakuan
dari Pemerintah Hindia Belanda, dan ketika terjadi bentrokan antara pedagang
Tionghoa dengan bumiputera, maka pemrintah Hindia Belanda melakukan
penyelidikan terhadap masing-masing pihak itu. Pada masa inilah, Samanhudi
meminta bantuan kepada Tirtoadhisuryo untuk membuat Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) sebagai bukti bahwa SDI Surakarta adalah organisasi yang
legal. SDI Surakarta berkembang pesat dan menarik perhatian berbagai jenis
strata masyarakat bumiputera yang bergabung. Awalnya konsentrasi utama
pergerakan SDI adalah mengamnkan kepentingan perdagangan bumiputera.
Hampir seluruh lapisan masyarakat bumiputera
di luar pedagang, larut bergabung dalam keanggotaan sarekat. Seperti tujuan
awal pembentukan SDI adalah untuk menyatukan seluruh bumiputera, maka SDI
diubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan nama SDI menjadi SI dengan
menghilangkan kata “dagang” yang termaktub dalam nama perkumpulan serta
Anggaran Dasarnya. Perubahan itu dilakukan pada 10 September 1912 di depan Akte
Notaris Surakarta.
Seiring dengan meningkatnya perdagangan
bumiputera, SI menyebar di berbagai wilayah Indonesia. Seperti halnya di
Surabaya. Perkembangan SI Surabaya memainkan peranan penting dalam
mengorganisir masyarakat dalam sebuah wadah perkumpulan bumiputera. SI
Suarabaya dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto, yang selanjutnya menjadi Hoofdbestuur (pimpinan besar) SI.
Semangat Gerakan Pan-Islamisme
Sampai pada abad ke-20, perkembangan Islam di
Indonesia semakin tampak. Kuatnya arus perkembangan Islam ini adalah akibat
dari proses menyebarnya gerakan Pan-Islamisme
(kebangkitan Islam) yang datang dari Timur Tengah. Melalui gerakan inilah,
semangat pembaruan Islam hadir dan mewarnai pemikiran masyarakat muslim
bumiputera yang sebelumnya telah memluk agama Islam.
Semangat gerakan Pan-Islamisme yang ada di
Timur tengah, hadir ke Indonesia dibawa oleh para haji yang datang setelah
menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dengan demikian, para haji yang telah
bermukim di Mekkah menyaksikan betapa pentingnya wacana Islam dan politik
internasional. Menjelang pertengahan abad ke-19, jumlah jamaah haji pada dekade
50-60-an mencapai 1600, pada 70-an mencapai 2600 dan pada 80-an mencapai 4600.
Jumlah keseluruhan jamaah haji dunia pada tahun 1914 adalah 56.855 dengan
28.427 orang di antaranya merupakan jamaah haji asal Indonesia.
Sekembalinya mereka dari Mekkah, berbagai
ilmu diajarkan kepada masyarakat setempat. Pengajaran umumnya dilakukan melalui
pesantren. Semakin banyaknya haji yang datang ke kampung halaman, semakin
banyak pula pesantren yang berdiri di berbagai daerah di nusantara. Kendati
tidak semua haji mendirikan pesantren, akan tetapi haji mendapat posisi sosial
yang tinggi sebagai orang yang dianggap saleh.
Bagi para haji yang mendirikan pesantren
–umumnya disebut kyai-, mereka menjadi pembimbing bagi para muridnya –santri-.
Kyai memiliki peran ganda dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kyai menjadi
pembimbing spiritual, baik bagi para santri maupun bagi masyarakat sekitar.
Pada prosesnya, wacana Pan-Islamisme semakin
bersentuhan dalam ranah politik, sebagai upaya untuk memperjuangkan rakyat
bumiputera yang tertindas oleh bentuk kolonialisme Belanda. Pada tahap inilah,
Pan-Islamisme telah melebur dalam semangat perjuangan pembebasan melalui
berbagai bentuk seperti pemberontakan, pergerakan organisasi modern, dan
lain-lain.
Sikap-sikap pertentangan yang dilakukan oleh
bumiputera terhadap Belanda, pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak hal. Sikap
sewenang-wenang Belanda terhadap bumiputera, serta yang paling penting adalah,
proses kristenisasi. Kristenisasi justru menjadi salah satu program pemerintah
kolonial yang saat itu diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Idenburg tahun 1909.
Diberlakukanya Kristenisasi di Indonesia adalah sebagai upaya untuk menekan
laju perkembangan Islam di Indonesia.
Sebagai upaya untuk menekan laju
kristenisasi, para kyai, haji, dan ulama membentuk perkumpulan sebagai wadah
persatuan umat Islam bumiputera. Seperti halnya H. Samanhudi, H.O.S
Tjokroaminoto, H. Agus Salim serta berbagai tokoh lainnya melalui organisasi
Sarekat Islam (SI), mereka bergerak bersama bumiputera lainnya melawan
bentuk-bentuk kolonialisme serta Kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda. SI
dalam perjuangannya juga dibantu oleh para tokoh beserta organ Islam lainnya
seperti H. Achmad Dahlan dengan Muhammadiyah; K.H Wahab Hasbullah dan K.H
Hasyim Asy’ari dengan Tswiful Anwar dan Nahdlatul Ulama (NU), serta berbagai
tokoh dan organ Islam lain yang juga mendukung arah perjuangan SI. Selain itu jumlah
haji yang bergabung dalam SI mencapai 10% dari keseluruhan anggotanya saat itu.
Persebaran SI di Berbagai Daerah
Pergantian
Gubernur Jendral yang semula dipegang oleh Joannes B. Van Heutz (1904-1909) dan
digantikan oleh A. Willem Frederik Idenburg (1909-1916), memiliki keuntungan
serta kerugian dalam pergerakan SI menjelang tahun 1916. Persebaran kekuatan SI
menjadi perhatian khusus bagi Idenburg, perhatian tersebut berujung kepada
pemberian persetujuan terhadap pengajuan SI sebagai organisasi legal. Pemberian
legalitas kepada SI bukan berarti SI dapat secara bebas untuk melakukan
berbagai kegiatan seperti yang diharapkan. Pasalnya SI dikenai regulasi untuk
setiap pembentukan cabang SI di berbagai daerah, harus memiliki Anggaran Dasar
masing-masing untuk disahkan sebagai organisasi yang legal. Artinya, SI harus
mengubah sifat organisasinya yang sebelumnya terpusat dengan cabang-cabang di
berbagai daerah, berubah menjadi sistem desentralisasi dengan setiap daerah
memiliki kewenangan untuk memimpin kelembagaan SI-nya masing-masing.
Pengesahan terhadap SI beserta syarat-syarat
kelembagaannya diterima oleh Tjokroaminoto sebagai Hoofdbestuur SI. Melihat kenyataan yang dapat mengganggu stabilitas
SI, Tjokroaminoto mengamil keputusan untuk melaksanakan Kongres Nasional SI
pertama di Bandung tanggal 17-24 Juni 1916. Kongres tersebut bertujuan untuk
membentuk Central Serikat Islam (CSI). CSI dibentuk sebagai federasi dari
berbagai SI lokal yang tersebar di seluruh nusantara. CSI secara struktural
dipegang oleh Tjokroaminoto dengan berbagai variasi kepengurusan dalam setiap
tahun pergantiannya.
Paska terbentuknya CSI, Tjokroaminoto
melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk mengokohkan keberadaan SI. Selain
Tjokroaminoto, berbagai tokoh penting SI juga melakukan hal yang sama, seperti
halnya Raden Gunawan, Abdoel Moeis, dan Agus Salim. Raden Gunawan memperkuat SI di wilayah Jawa Barat hingga
Sumatera Selatan, Abdoel Moeis dan Agus Salim memperbesar pengaruh SI ke
kampung halamannya Sumatera Barat. Selain mereka, masih banyak anggota SI
lainnya. Salah satu anggota SI yang masih muda dan progresif muncul di
Semarang, Semaoen itulah namanya. Semaoen sebelumnya aktif dalam Vereniging voor Spooren Tramweg Personeel (VSTP)
dan tepat pada 6 Mei 1917 menjadi pimpinan SI Semarang.
Selain itu berbagai kebutuhan berkaitan
dengan upaya peningkatan pengajaran umat Islam juga menjadi kebutuhan utama
untuk diperjuangkan. Muhammadiyah sebagai organ bumiputera yang berkonsentrasi
dalam bidang pendidikan serta pembaruan Islam, bersama-sama dengan SI turut
memajukan pendidikan bagi bumiputera. Kebutuhan terhadap para guru serta
berbagai panduan sistem pengajaran al-Qur’an muncul atas kesadaran umat Islam
nusantara, juga sebagai program yang secepatnya harus direalisasikan untuk
kemajuan Islam di nusantara.
Dengan besarnya kelembagaan SI, tahun 1916
dalam Kongres Nasional SI pertama di Bandung. Penggunaan istilah “nasional”
menjadi tanda SI telah muncul sebagai sebuah perkumpulan bumiputera yang besar dan
tersebar di seluruh Nusantara. Tjokroaminoto memandang sudah saatnya bumiputera
untuk menentukan pemerintahannya sendiri seperti yang dicita-citakan,
diungkapkannya dalam pidatonya dalam bahasa Belanda:
Wij hebben ons ras lief en met de kracht van de leer van onzen godsdienst
(Islam) doen wij ons best om allen of het grootste gedeelte van onze bangsa een
te maken, wij hebben lief het land, dat ons geboren zag en wij hebben lief het
gouvernement, dat ons beschermt. Daarom zijn wij niet beschrood om op alles,
wat eij denken goed te zijn, de aandacht te vestigen, en te vragen het geen wij
denken dat ons ras, onzen geboortegrond en ons gouvernement zal kunnen
verbeteren.
Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita
berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian besar bangsa
kita. Kita mencintai negeri yang telah menyaksikan kelahiran kita, dan kita
mencintai pemerintah yang melindungi kita. Maka dari itu kita pun tidaklah
segan-segan untuk meminta perhatiaannya terhadap apa yang kita anggap baik, dan
meminta segala sesuatu yang kita anggap dapat memperbaiki bangsa kita, tanah
air kita, dan pemerintahan kita.
Tjokroaminoto pada dasarnya ingin
menyampaikan cita-cita SI yaitu memiliki pemerintahan sendiri sebagai sebuah bangsa
yang merdeka dan berdiri sendiri, bukan sebagai bangsa yang hidup di bawah
tekanan kolonialisme Belanda.
Kerajaan Belanda menerapkan zelfbestuur bagi Hindia Belanda, suatu
bentuk otonomi pemerintahan bagi teritori Hindia Belanda, atau desentralisasi
kekuasaan kepada pemerintahan kolonial. Dampak diterapkannya zelfbestuur tersebut maka akan dibentuk Volksraad –parlemen, dewan rakyat- bagi
daerah Hindia Belanda.
Salah satu pertimbangan yang melatar
belakangi pembentukan Volksraad adalah
situasi Belanda yang saat itu terlibat perang di Eropa. Upaya melunak yang
diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap Indonesia adalah sebuah upaya
agar bumiputera tetap mendukung kebijakan Belanda. Sebagai upaya untuk merealisasikan
kompromi Belanda terhadap bumiputera di masa perang tersebut, Van Limburg
Stirum sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1916-1920) memulai usaha
pembentukan Volksraad.
Januari tahun 1918, pemilihan anggota Volksraad dilakukan. Beberapa nama masuk
dalam penjaringan anggota yang dipilih oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ketika
19 nama telah disetujui dan disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, menjelang
terbentuknya pada bulan Februari 1918, Stirum mengakomodir beberapa pihak
bumiputera lainnya dan bergabung dengan ke-19 Anggota Volksraad lainnya. Beberapa nama yang masuk adalah Mangkunegara
Prang Wedana, Tjokroaminoto, Dwijosewojo, Tjipto Mangunkoesoemo, dan M. Tajeb.
Dengan demikian, Tjokroaminoto masuk sebagai anggota Volksraad pertama perwakilan dari SI.
Tahun 1918 krisis ekonomi membayangi daerah
Jawa, sebagai akibat politik etis Belanda yang membuka investasi seluas-luasnya
kepada pemodal, menyebabkan banyak munculnya industri, salah satunya perkebunan tebu untuk
memproduksi gula sebagai komoditas masa itu. Para pekerja dan buruh semakin
tertekan karena perusahaan mengurangi upah pekerja, sebagai bentuk pengurangan
biaya produksi akibat upaya rekonstruksi Belanda paska perang, ditambah
berkurangnya pertanian sawah yang dikonversi menjadi petani tebu. Sehingga bahaya
kelaparan dan krisis pangan mengancam penduduk bumiputera.
Tjokroaminoto menanggapi kondisi tersebut dan
mengajukan usulan kepada Gubernur Jenderal agar pemerintah mengurangi jumlah
tanaman tebu sebanyak 50%. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak. Ditolaknya
usulan Tjokroaminoto tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap
mengupayakan agar tanaman perkebunan tebu dikurangi. Tahun 1919, ia kembali
mengusulkan hal yang sama, akan tetapi dengan nominal yang lebih rendah menjadi
25%. Dasar tuntutan tersebut diajukan dengan pertimbangan tentang ancaman
bahaya kelaparan di Jawa, sehingga SI berpendapat tanah yang digunakan untuk
perkebunan tebu dikonversi kepada persawahan padi. Tuntutan ini diusulkan dalam
sidang Volksraad tanggal 20 Februari
1919. Meskipun tuntutan dikurangi, tetapi usulan tetap ditolak. Ditolaknya
usulan Tjokoroaminoto terkait dengan situasi bumiputera, akhirnya mengundang
reaksi dari anggota SI lainnya. Salah yang menuntut agar perwakilan SI ditarik
dari Volksraad.
Pertarungan Elit: Perebutan Pengaruh SI Putih
dan Merah
Selain perdebatan tentang keterlibatan SI
dalam Volksraad, pertentangan tentang
menyikapi keinginan Pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk Aksi Ketahanan
Hindia (Indie Weerbaar Actie) sebagai
bentuk antisipasi Pemerintah Hindia Belanda bila Perang Dunia I menyebar ke
Asia Tenggara. Perdebatan muncul antara Abdoel Moeis dan Semaoen yang
masing-masing berbeda pandangan melihat Indie
Weerbaar Actie tersebut.
Tahun 1916 menjadi awal perpecahan SI, friksi
tersebut dimulai ketika wacana keterlibatan SI dalam Volksraad digulirkan dan mendapat reaksi beragam dari internal SI.
Pentolan SI Semarang, Semaoen, Darsono, Baars, dan kawan-kawan, melakukan aksi
pengecaman terhadap kebijakan SI yang masuk ke dalam Volksraad. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Semaoen:
Banyak kaoem bergerak menaroeh kepertjajaan besar pada kekoeasaanja komidi
Volksraad, hal jang mana mengoerangkan kepertjajaan atas diri sendiri. Di dalam
Volksraad pemerintah bisa taoe apa jang mendjadi pikirannja rakjat dan dengan
pengetahoean itoe ia bisalah mengambil atoeran-atoeran jang tiada djadi sakit
hatinja rakjat, sehingga napsoe peperasan
bisa didjalankan teroes dengan menjingkiri rasa keberatannja rakjat. Maka
dari itoe siapa jang soeka dingin kipasnja pemerintah dinamakan Volksraad,
baiklah tidoer lagi senjenjak-njenjaknja.
Semaoen menggambarkan Volksraad sebagai komidi –komedi- atau lebih identik dengan
lawakan, sandiwara, yang baginya tidak berdampak positif terhadap perjuangan
bumiputera. Menurut Semaoen, perjuangan SI melalui Volksraad justru menunjukkan kalau Tjokroaminoto sebagai pimpinan
SI, tidak anti terhadap bentuk-bentuk Kapitalisme Belanda. Kelompok Semarang
yang terpengaruh ideologi sosialis-marxisme –atau lebih umum dikenal dengan Komunisme-
pada dasarnya menginginkan SI bersikap lebih revolusioner dalam menghadapi
sikap Belanda yang kapitalistik dan represif.
Selain itu pola pergerakan kelompok Semarang lebih mengarahkan untuk
melakukan pembinaan terhadap buruh. Upaya perjuangan melalui buruh juga sangat
berdasar, pasalnya karena kapitalisasi industri Belanda menyeret bumiputera
dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik.
Kerasnya penolakan Semaoen terhadap pola
pergerakan SI yang dianggap tidak nyata dalam memperjuangkan bumiputera, sangat
tampak ketika kongres CSI tahun 1917, saat SI memberikan dukungan terhadap Indie Weerbaar Actie. Semaoen sebagai
Ketua SI Semarang menyatakan “Kami tidak
suka keluarkan darah untuk keperluan orang lain, apalagi keperluan Zondig
Kapitalisme”. Alasan Semaoen mengecam kebijakan SI tersebut dikarenakan tujuan utama pembentukan Indie Weerbaar Actie adalah memperkuat
pertahanan Hindia Belanda dari kekuatan Jepang yang mengancam Asia Tenggara, Indie Weerbaar Actie dianggap hanya
menguntungkan orang-orang Belanda dan hanya sedikit bagi bumiputera. Belanda
adalah penjajah, dan ingin tetap mengokohkan kekuasaannya di Nusantara melalui
kapitalismenya. Dengan demikian istilah Zondig
Kapitalisme –zondig berarti dosa-
yang ditujukan kepada Belanda menandai tidak seharusnya mendapatkan dukungan
dari bumiputera, terutama SI.
Sosialisme merupakan salah satu ideologi
besar dunia yang berkembang di abad ke-20. Sosialisme hadir di Indonesia dibawa
oleh E.F.W. Douwes Dekker, H.J.F.M Sneevliet, Ir. A. Baars, dan Brigma. Douwes
Dekker merupakan salah satu dari sekian banyak orang Belanda yang mendukung
dilaksanakannya Politik Etis di Hindia Belanda. Dekker membentuk sebuah
perkumpulan di Semarang dengan nama Semarangsche
Keizervereeniging Club, organ ini adalah embrio Indische Partij (IP), yang didirikan pada 6 September 1912.
Menjelang tahun 1913, asas organ tersebut ditolak oleh pemerintah kolonial dan
akhirnya dibubarkan.
H.J.F.M Sneevliet, merupakan salah seorang
propagandis komunis internasional yang berasal dari Belanda. Ia datang ke
Indonesia sebagai pekerja kereta api di Surabaya, dan kemudian mendirikan Indische Sosialische Demokratie Vereenigging
(ISDV). Ketika melihat perkembangan Komunisme di Semarang berkembang, ia
memutuskan pindah ke Semarang.
Gagasan utama yang menjadi dasar ideologi
Sosialisme adalah ajaran Karl Marx. Gagasan dasr Marxisme meliputi dua hal.
Pertama, Teori Sosial, Marxis melihat bahwa susunan masyarakat pada zaman mana
pun secara fundamental ditentukan oleh metode-metode produksi dan distribusi
kekayaan. Berbagai lembaga serta gagasan yang ada dalam masyarakat pada
dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kepentingan kelas yang memiliki dan
mengontrol alat-alat produksi atau bentuk utama kekayaan. Dengan demikian,
kelompok atau kelas pemodal inilah yang menguasai struktur sosial untuk
kepentingannya. Kedua, Filsafat Sejarah Marxis melihat bahwa perubahan
masyarakat pada dasarnya bukan ditentukan oleh konflik gagasan seperti halnya
pemikiran Friedrich Hegel, akan tetapi akan tetapi, peruabahan masyarakat ditentukan
oleh konflik ekonomi, anatara kepentingan ekonomi kelas yang memerintah dengan
kelas yang diperintah, pertarungan kelas sosial. Sederhananya, Komunisme
menghendaki kepemilikan negara dalam hal semua kekayaan, termasuk di dalamnya,
baik barang produksi maupun barang-barang konsumsi. Untuk mencapai perubahan
tersebut, Komunisme menghendaki perubahan secara radikal dan revolusioner.
Gagasan Marxis sesuai dengan kondisi rakyat
Nusantara saat itu yang sedang mengalami penindasan kelas oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, sehingga banyak aktivis SI yang terpengaruh konsep dan pola
gerakan Komunisme, di antaranya Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka dan lain-lain.
Realitas sosial ini memunculkan berbagai kajian tentang Marxis sehingga pola
gerakan SI –terutama SI Semarang- berubah lebih revolusioner. Gerakan
revolusioner SI terwujud dalam bentuk aksi pendampingan dan pembentukan serikat
buruh di berbagai industri.
Sebagai upaya menolak gerakan Indie Werbaar Actie, Semaoen sebagai
pimpinan SI Semarang memutuskan untuk melakukan perjuangannya sendiri. Semaoen
menggandeng para buruh untuk melakukan berbagai aksi pemogokan di berbagai
daerah. ISDV dan VSTP menjadi penyokong perjuangan Semaoen tersebut. Pergerakan
buruh yang dilakukan menjadi garda terdepan menentang semua kebijakan Pemerintah
Hindia Belanda, gerakan ekstra parlementer yang dilakukan SI Semarang berlangsung
selama tahun 1917-1918. Pada masa ini terjadi krisis ekonomi, yang disebabkan
meningkatnya laju inflasi sebagai dampak dari Perang Dunia I. Inflasi ini
menyebabkan penurunan nominal upah buruh dan meningkatnya harga barang.
Pemogokan adalah aksi yang dipilih oleh
gerakan buruh yang dimotori SI Semarang untuk menekan para pemilik modal agar
segera meningkatkan upah. Beberapa rangkaian pemogokan dilakukan, di antaranya
pemogokan buruh pabrik perabotan, buruh cetak, buruh pabrik mesin jahit Singer,
buruh bengkel mobil, buruh transportasi uap dan perahu. Masing-masing rangkaian
pemogokan yang dipelopori SI Semarang meluas ke berbagai daerah, Batavia,
Bandung, Surabaya, dan sebagainya.
Berhasilnya berbagai pemogokan yang dimotori
oleh SI Semarang pimpinan Semaoen, akhirnya serikat pekerja di berbagai daerah
mempercayakan kepemimpinan perserikatan buruh kepada SI Semarang. Semaoen tetap
berkeyakinan bahwa model pergerakan ekstraparlementer dan radikal adalah metode
efektif melawan Kolonialisme Belanda, Semaoen tetap bersikeras menolak sikap pembesar
SI seperti Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, dan lainnya dalam membawa arah
pergerakan SI melalui Volksraad dan
memberikan dukungan terhadap Indie
Werbaar Actie.
Ketika terjadi perdebatan terhadap beberapa
kebijakan SI. Tjokroaminoto sebagai Hoofdbeestuur
SI menginisiasi mengakhiri konflik dalam Kongres ke-3 SI tahun 1918 di
Surabaya. Masing-masing pihak kemudian menyepakati untuk membatasi pertentangan
tersebut dalam konteks keorganisasian dan bukan atas nama pribadi. Dalam
kongres tersebut, Tjokroaminoto dan Moeis tetap dipercaya sebagai pimpinan
serta wakil pengurus pusat CSI. Dalam kongres ke-3 keputusan kongres menyatakan
dukungan terhadap aksi pemogokan buruh.
Keputusan kongres-3 akhirnya dipertegas dalam
Kongres ke-4 tahun 1919, yaitu menghasilkan keputusan untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, dam ketika Indonesia merdeka, federasi buruh akan
berperan sebagai kamar pertama, sedangkan partai-partai politik berperan
sebagai kamar kedua. Selain itu dalam kongres ini juga disepakati dilakukannya
restrukturisasi dan pembentukan Perkumpulan Pergerakan Kaum Buruh (selanjutnya
disebut PPKB) sebagai federasi dari organ buruh di Indonesia dengan diketuai
oleh Semaoen, wakil ketua Suryopranoto, dan sekretaris H. Agus Salim.
Suryopranoto sebagai wakil ketua PPKB yang
juga terpilih sebagai wakil ketua CSI dalam Kongres ke-4 mendampingi
Tjokroaminoto mengusulkan agar Jogjakarta dijadikan sebagai pusat kedudukan
gerakan PPKB. Usulan tersebut ditolak oleh Semaoen yang menganggap bahwa wacana
itu berindikasi untuk menarik kantong-kantong pergerakan buruh di bawah kendali
Tjokroaminoto Cs. Karena itu kemudian Semaoen menarik kedudukan PPKB ke Semarang
dengan dalih, bahwa ketua memiliki wewenang untuk menentukan kedudukan pusat
dari pergerakan buruh tesebut.
Berbagai pertentangan yang dilakukan oleh
Semaoen Cs terkait kebijakan SI, menyebabkan posisi Tjokroaminoto terpojok
sebagai Hoofdbestuur CSI. Pola
diplomasi dan kemampuannya dalam mempengaruhi massa dilakukan oleh
Tjokroaminoto dalam Kongres ke-3 CSI dalam pidatonya:
Yang kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari semua perbedaan agama.
CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga
mencapai (tahap) pemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme, CSI tidak
akan mentolerir dominasi manusia terhadap manusia lainnya. CSI akan bekerja
sama dengan siapa saja yang mau bekerja demi kepentingan ini. CSI menginginkan
pendidikan sehingga orang dapat bersuara dan menyumbang pada kesejahteraan
Hindia. Pemerintahan sendiri yang suatu saat harus ada di Hindia, harus
melibatkan partisipasi yang sama seperti pemerintahan sendiri di negeri Eropa.
Tidak boleh ada komedi.
Diplomasi Tjokroaminoto pada prinsipnya ingin
menarik simpati anggota SI untuk mendukung perjuangan di dalam Volksraad. Bagaimanapun juga, ajakan
kepada semua anggota SI itu terganjal oleh meningkatnya eksistensi Semaoen
dalam mengorganisir para buruh melawan Kapitalisme Belanda. Sebagai upaya untuk
menarik simpati tersebut, Tjokroaminoto juga menyerukan tuntutan yang sama
seperti yang diinginkan oleh pengikut Komunisme serta kembali menghimbau
dukungan para anggota SI dalam perjuangan di Volksraad.
Posisi Tjokroaminoto semakin sulit ketika
orang-orang Arab dan keturunan menarik diri dari SI dan berhenti menjadi
penyokong pendanaan surat kabar Otoesan Hindia –surat kabar milik Sarekat Islam-.
Untuk mengembalikan dukungan orang-orang Arab dan keturunan, Tjokroaminoto
bergabung dengan al-Irsyad di Surabaya untuk kembali menegaskan bahwa SI masih
memperjuangkan berbagai kepentingan umat Islam dan menjadikan Islam sebagai
garis perjuangan.
Menjelang tahun 1920, kegagalan beberapa aksi
pemogokan yang dipimpin oleh Semaoen, menjadi alasan bagi Suryopranoto dan Agus
Salim untuk menarik kedudukan PPKB dari Semarang ke Yogyakarta. Penarikan ini
menandai dicabutnya dukungan Tjokroaminoto terhadap pola pergerakan Semaoen dan
SI Semarang. Tjokroaminoto menilai kegagalan pemogokan tersebut, ditengarai
oleh masuknya peran-peran propaganda Komunis yang berlebihan dalam menentukan
arah gerakan buruh. Tjokroaminoto bersama Agus Salim dan Moeis serta organ
Serikat Pekerja Pegadaian yang berada di bawah kendali Tjokroaminoto Cs, bagian dari organ PPKB kemudian melakukan
proteksi terhadap arus Komunisme.
Ditariknya PPKB ke Yogyakarta, sangat memukul
Semaoen sebagai Ketua PPKB. Penarikan posisi PPKB ke Yogyakarta tidak dapat
ditolak, sebagai bagian dari kebijakan CSI. Akan tetapi Semaoen kemudian
mengajukan usulan kepada Tjokroaminoto untuk membantu para buruh yang dipecat
akibat kegagalan pemogokan. Permintaan tersebut diterima oleh Tjokroaminoto
dengan membentuk Komite Derma untuk memberikan bantuan dana kepada buruh pabrik
yang dipecat akibat kegagalan aksi pemeogokan
Setelah pembentukan Komite Derma di
Yogyakarta, akhirnya Tjokroaminoto Cs mengamankan dan menarik berbagai organ
buruh yang berada di bawah kendalinya. Sementara Semaoen menarik ISDV dan VSTP
serta berbagai organ buruh pengikutnya dari PPKB, berkonsentrasi di Semarang.
Akhirnya Tjokroaminoto sebagai Hoofdbestuur
CSI membubarkan sepihak PPKB.
Sejak perselisihan inilah tensi konflik
internal SI kembali meningkat, dan memunculkan friksi tajam dengan adanya Faksi
Islam yang diusung oleh Tjokroaminoto Cs dengan Faksi Komunis yang diusung oleh
Semaoen Cs, -dikenal dengan istilah SI Putih vs SI Merah-. Masing-masing
berupaya menunjukkan eksistensinya dalam pola pergerakan masing-masing dengan
identitas ideologis yang berbeda antara Islam dan Komunis.
Terlepas dari friksi yang terjadi di internal
SI. Aksi-aksi progressif yang dilakukan oleh SI dan sayap buruhnya PPKB, mendapatkan
perhatian khusus dari Pemerintah Hindia Belanda. Dalam industri gula, para
sindikat gula (Suiker Syindicat)
merasa tersinggung dengan usulan Tjokroaminoto terhadap pengurangan 50%-80%
tanah perkebunan tebu. Kekhawatiran para sindikat gula dikarenakan
Tjokroaminoto memiliki massa yang tidak dapat diremehkan. Ditambah dengan
pemogokan diberbagai daerah yang dimotori oleh PPKB.
Sebagai upaya untuk menekan aksi SI, sindikat
gula yang juga tergabung dalam Personil
Economics Bond (PEB), memulai operasi untuk melemahkan SI dengan
mempelopori pembentukan berbagai organ gerakan rakyat dalam menandingi
keberadaan dan pengaruh SI dalam masyarakat. PEB membentuk organ dari berbagai
corak masyarakat bumiputera, seperti Sarekat Hedjo yang bercorak kejawean,
Pamitran di Bandung, Sarekat Pompa di Cimahi, Tolak Bahla Towil Umur di Tasikmalaya dan Garut, serta organ yang
bercorak Islam yaitu Jamiatul Hasanah, Jamiatul Mutiin, dan Ahlu Sunnah Wal
Jamaah. Sistem perekrutan para anggotanya, dilakukan dengan cara memberikan
gaji bagi siapapun yang bergabung, dan setelah ditelusuri sumber pendanaan organ-organ
tersebut berasal dari PEB.
Pergantian Gubernur Jendral dari Limburg
Stirum (1916-1918) kepada Dirk Fork, mengubah sikap Pemerintah Hindia Belanda
terhadap setiap pergerakan yang ada. Berbagai aksi pemogoka yang dilakukan oleh
serikat buruh –dimotori oleh SI- dianggap menciderai rust en orde (keamanan dan ketertiban), dan upaya merongrong
Pemerintah Hindia Belanda. Dirk Fork menerapkan sikap represif terhadap setiap
aksi politik yang ada, dengan membentuk satuan khusus (intelijen) yang
dijalankan oleh kepolisian Hindia Belanda. Selain itu Dirk Fork mencabut izin
melakukan Vergadering (perkumpulan).
Awalnya Kongres ke-5 CSI yangakan
dilaksanakan pada tahun 1920 terpaksa gagal dilaksanakan akibat banyaknya
aktivis SI yang ditahan sehingga Kongres dilaksanakan pada tahun 1921. Arah
pembicaraan dalam kongres mengenai ideologi pergerakan. Masing-masing faksi
bersikukuh dengan pola perjuangan berdasarkan ideologi masing-masing. Darsono
dan kawan-kawan sebagai perwakilan SI Semarang –Semaoen sedang berada di Rusia-
tetap bersikukuh dengan Komunisme, sedangkan Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Suryopranoto
–Tjokroaminoto sedang dipenjara dengan tuduhan terlibat pelanggaran rust en orde- juga tetap pendirian
dengan Islam sebagai ideologi dan cita dasar perjuangan dalam mewujudkan
cita-cita Indonesia merdeka.
Kelompok SI Semarang tegas menolak Islam
sebagai dasar pergerakan serta menolak diterapkannya Islam dalam wilayah
politik. Islam dianggap tidak cekatan dalam merespons perubahan serta terlalu
lemah dalam melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. SI Semarang
tidak lagi menempatkan Islam sebagai garis politik, Islam hanya sebatas agama.
Pergerakan SI Semarang yang berpijak pada dua
kaki, tidak dapat diterima baik oleh kalangan SI di bawah kontrol Tjokroaminoto
yang pada saat itu terpusat di Yogyakarta. SI Semarang yang mengusung dasar ideologi
Komunisme, semakin memperlihatkan adanya sifat sekularitas dalam hal agama dan
politik. Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan di kedua pihak tentang
penempatan agama dan politik dalam mewujudkan cita-cita perjuangan.
Model ideologi Komunis yang demikian sangat
bertentangan dengan ide dan gagasan Tjokroaminoto dan Agus Salim. Tjokroaminoto
dan Agus Salim tetap mempertahankan Islam sebagai dasar pergerakan. Islam
merupakan sebuah agama sekaligus ideologi yang mengatur semua hal tanpa
terkecuali. Tjokroaminoto dan Agus Salim menjelaskan, bahwa Islam menjadi
fondasi nasionalisme kebangsaan Indonesia.
Perdebatan terus berlanjut, dan tidak
menemukan titik persamaan di antara keduanya. Untuk menghindari perselisihan
lebih lanjut, sedangkan perjuangan yang nyata adalah melawan bentuk-bentuk
Kolonialisme Belanda harus segera direalisasikan. Perdebatan panjang, akhirnya
semakin mempertegas keinginan Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Suryopranoto untuk
segera mengakhiri kebersamaannya dengan SI Semarang dengan cara mengesahkan
disiplin partai yang juga telah disepakati peserta kongres lainnya. Pihak SI
Semarang yang telah menduga hasil keputusan tersebut tetap tenang dan menerima
hasil keputusan.
Disiplin partai menjadi keputusan yang tidak
dapat ditolak dan harus dilakukan, karena telah menjadi keputusan kongres. Yang
dimaksud dengan disiplin partai adalah memberikan kesempatan untuk memilih
salah satu lembaga bagi anggota SI yang sebelumnya memiliki keanggotaan ganda
dengan PKI.
Termotivasi dengan keberhasilan Revolusi
Rusia, Sneevliet menarik ISDV menjadi sebuah organ yang lebih radikal. 23 Mei
1920, secara resmi ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (selanjutnya
disebut PKI), sejak terbentuknya PKI dan pecahnya SI, anggota SI yang berhaluan
Komunis kemudian bergabung sepenuhnya kepada PKI.
Agus Salim dan Moeis menerakan disiplin partai
dalam SI untuk mengurangi dan menghilangkan unsur Komunis yang telah menyebar dalam
SI Semarang dan beberapa SI afiliasinya. Beberapa kelompok yang mengambil sikap
keluar dari SI karena memiliki keanggotaan ganda adalah SI Semarang, serta SI Kudus,
Ambarawa, dan Sukabumi yang sebelumnya masuk dalam kelembagaan ISDV. Penerapan disiplin
partai tersebut, secara tegas memisahkan ideologi Islam dengan ideologi Komunis
yang juga memisahkan pusat organ pergerakan masing-masing ke Yogyakarta dan Semarang.
0 Coment:
Posting Komentar