Penjajahan barat terhadap berbagai negeri Islam
sedikit banyak telah merubah pandangan masyarakat Islam tentang posisi agama. Sebagai
ekspresi barat selama berabad-abad berada di bawah kungkungan dogmatisasi
gereja dalam masa yang disebut Age of
Darkness in Europe. Bagaimanapun, penjajahan telah berhasil menciptakan
beberapa kelompok orang yang menyakini bahwa agama tidak punya tempat dalam
mengarahkan dan menata negara. Contoh praktis yang paling menonjol untuk itu
adalah negara sekuler pertama yang didirikan oleh Kemal Attaturk di Turki, hal
itu terjadi setelah keruntuhan kerajaan Ottoman yang merupakan kekuatan politik
dominan Islam masa itu.
Dalam Islam tuntutan paling mendasar dari konsep
politik dan kepemimpinan adalah kewajiban untuk menjaga amanat dan menjalankan
pemerintahan yang adil. Bila amanat dan keadilan disia-siakan, maka umat akan
binasa dan negeri akan hancur.
Yusuf Al Qardhawy menulis dalam Fiqh Negara; “terdapat puluhan hadits
shahih yang berbicara tentang kekuasaan, pemerintahan, pengadilan, dan
kepemimpinan; tentang karakter para pemimpin dan penguasa, kewajiban mereka
dalam memerintah dan mendukung kebenaran, kewajiban rakyat untuk memenuhi
pemimpin dalam keadaan rela dan terpaksa, serta sabar terhadap mereka; tentang
batats-batas ketaatan dan kesabaran itu; tentang pembatasan tugas-tugas mereka
dalam melaksanakan hudud (batas-batas) Allah; tentang perlindungan terhadap
rakyat, bermusyawarah dengan kalangan intelektual, memberi jabatan kepada
mereka yang pantas dan jujur, mengambil teman yang baik, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, amar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai hal penting lainnya
berkaitan dengan persoalan negara,
pemerintahan, administrasi dan politik”.
Dari paparan Qardhawy
tersebut penulis menginterpretasikan bahwa dalam ajaran Islam konsep
kepemimpinan sosial secara alamiah sudah menjadi bagian dari Islam itu sendiri,
kepemimpinan itu dipadukan dengan nilai-nilai ketuhanan yang ada dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari Islam itu sendiri. Menepis keraguan bahwa Islam
sekedar seperangkat agama spiritual. Senada dengan yang disampaikan oleh Hasan
Al-Banna dalam Majmuatur Rasail yang penulis paparkan di awal. Oleh sebab itu
Islam sering diidentikkan sebagai sebuah sistem dan perangkat; pedoman dan
petunjuk; nilai dan norma universal; bagi manusia sesuai dengan fitrahnya
sebagai makhluk ciptaan tuhan.
Lanjut Qardhawy dalam bukunya: karena itu kita melihat bahwa berbagai
persoalan kepemimpinan dan kekuasaan dinukilkan dalam buku-buku aqidah dan
ushuluddin. Di samping itu, kita juga melihat bahwa persoalan-persoalan
tersebut juga dinukilkan dalam buku fiqih dan dalam buku-buku yang khusus
menelaah dasar-dasar negara, administrasi, pengadilan, keuangan, dan politik,
seperti buku; “al-Ahkam al-Sulthaniyah”
(Tatanan Kekuasaan) oleh Imam
Mawardi; “Al-Ghiyatsi” karangan Imam Haramain; “Kebijaksanaan Syari’at” oleh Ibnu Taimiyah; “Tharir al-Ahkam” oleh Ibnu Jama’ah; “al-Kharaj” oleh Abu Yusuf dan buku yang sama karangan Yahya bin
Adam; “al-Amwal” oleh Abu ‘Ubaid;
serta buku-buku lainnnya yang disusun sebagai referensi bagi para penguasa dan
hakim, seperti buku “ath-Thuruq al
Hukumiyah”, “at-Tabshirah”, “Mu’minul Hukam”, dan seumpamanya.
Sejarah Islam
memberitahukan kepada kita bahwa Nabi Muhammad SAW mencurahkan segenap
kemampuannya, moril maupun materil dengan dukungan petunjuk wahyu untuk
mendirikan negara Islam sebagai pusat dakwahnya.
Piagam tertulis
pertama dalam sejarah umat manusia yang dapatdibandingkan dengan pengertian
konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas
persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota
Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah
sebelumnya, pada tahun 622 Masehi. Banyak buku yang menggambarkan mengenai
Piagam Madinah, kadang-kadang disebut juga Konstitusi Madinah. Para ahli
menyebut Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt
menyebutnya “The Constitution of Medina”;
Nicholson menyebutnya “Charter”;
Majid Khadduri menggunakan perkataan “Treaty”;
Phillips K. Hitti menyebutnya “Agreement”;
Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan ‘Piagam’ sebagai terjemahan kata “al-ShahifahI”. Kata ‘al-Shahifah’ merupakan
kata yang disebut dalam naskah piagam itu sendiri. Kata ini bahkan disebut
sebanyak delapan kali dalam teks piagam. Perkataan ‘charte’ sesungguhnya identik dengan piagam dalam bahasa Indonesia,
sedangkan perkataan ‘treaty’ dan ‘agreement” lebih berkenaan dengan isi
piagam atau ‘charte’ itu. Namun,
fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pedoman kenegaraan menyebabkan
piagam itu tepat juga disebut sebagai konstitusi, seperti yang dilakukan oleh
Montgomery Watt.
Para pihak yang
diikat dalam Piagam yang berisi perjanjian ini ada tiga belas, yaitu
komunitas-komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga
belas komunitas itu adalah: (1) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku
Quraisy Mekkah; (2) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yastrib; (3) Kaum Yahudi
dari Banu ‘Awf; (4) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah; (5) Kaum Yahudi dari Banu
al-Hars; (6) Banu Jusyam; (7) Kaum Yahudi dari Banu Najjar; (8)Kaum Yahudi dari
Banu ‘Amr bin ‘Awf; (9) Banu al-Nabit; (10) Banu al-‘Aws; (11) Kaum Yahudi dari
Banu Sa’labah; (12) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah; dan (13) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan,
Piagam Madinah itu berisi 47 pasal ketentuan. Pasal 1, misalnya menegaskan
prinsip persatuan dengan menyatakan: “Innahum
ummatun wahidatun min duuni al-naas” yang berarti “sesungguhnya mereka
adalah umat yang satu, dari (komunitas) manusia”. Dalam Pasal 44 ditegaskan
bahwa “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang
atas kota Yastrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan: “Kaum Yahudi memikul
biaya bersama kaum mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan
bahwa: “Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin, bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka, juga (kebebasan
ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang
zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri.Jaminan
persamaan dan persatuan dalam keragaman itu demikian indah dirumuskan dalam
Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang akan mungkin akan menyerang
kota Madinah, setiap warga kota ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan
dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Bagi orang
Yahudi agama mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka pula. Prinsip
kebersamaan ini bahkan ditegaskan dari rumusan al-Qur’an mengenai prinsip “lakum diinukum walyadiin” (bagimu
agamamu, dan bagiku agamaku”. Dalam piagam digunakan perkataan mereka, baik
bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan
Nabi.
Selanjutnya, pasal
terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa
Indonesianya adalah: “Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan
khianat. Orang yang keluar (berpergian) dan orang berada di Madinah aman,
kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat
baik dan takwa (tertanda Muhammad Rasulullah SAW).
Ketika Nabi Muhammad
SAW wafat, hal pertama yang dilakukan oleh para sahabat –orang-orang Islam
pertama di masa Nabi Muhammad- adalah memilih Imam (pemimpin) yang menggantikan beliau. Bahkan mereka
mendahulukan masalah ini ketimbang mengubur beliau. Para sahabat sepakat
mengangkat Abu Bakar dan menyerahkan persoalan kepemimpinan kepadanya. Cara
seperti ini berlanjut pada masa-masa berikutnya. Konsensus historis yang
dimulai dari zaman sahabat dan tabi’in ini dijadikan oleh para ulama Islam
sebagai dalil untuk mengangkat kepemimpinan dalam Islam.
Imam Ibnu Taimiyah
mengatakan dalam buknya “as-Siyasah
asy-Syar’iah”, perlu diketahui bahwa penunjukkan seseorang sebagai pemimpin
merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan
tegak dan dunia tidak akan baik tanpa kepemimpinan. Kemaslahatan umat manusia
tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial. Karena sebagian
mereka memerlukan sebagian yang lain. Sedangkan kehidupan sosial itu harus ada
yang memimpinnya.
Walaupun berbagai
teks Islam tidak mengungkapkan secara terus terang keharusan mendirikan negara,
dan sejarah Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya tidak pula memperlihatkan
penerapan praktis. Tetapi dalam era modern keberadaan negara adalah entitas
kekuasaan tertinggi yang mengatur tatanan kehidupan sosial rakyatnya. Meskipun
begitu, penulis berpendapat bahwa tidak serta merta harus dalam bentuk
mendirikan negara Islam sebagai tujuan akhir dan bentuk negara yang
diperjuangkan. Tetapi urgensi pembentukan negara di era modern adalah realitas
yang ada.
Qardhawy melanjutkan: Kapan pun Islam tetap
membutuhkan suatu negara yang menjadi pusat pengembangan dakwahnya. Di zaman
sekarang kebutuhan itu sangat mendesak. Di zaman sekarang telah muncul “negara
ideology”, suatu negara yang mengadopsi suatu ide dasar tertentu. Berdasarkan
pemikiran inilah negara itu dibangun, dan berdasarkan pemikiran itu pula
dikembangkan ajaran, kebudayaan, legislasi, hukum, dan ekonomi, serta sebagai
hal lainnya yang berhubungan dengan berbagai persoalan dalam dan luar negeri.
Hal ini dapat kita lihat ilmu pengetahuan modern komunis dan sosialis,
mempengaruhi aqidah, pemikiran, perasaan, perilaku dan cara berfikir masyarakat
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan negara dengan berbagai aparatnya
yang modern mampu merubah nilai-nilai dan moral masyarakat secara total. Hal
ini akan terus berlangsung bila tidak ada kekuatan lebih hebat yang menentang.
Qardhawy menyatakan
bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara makan setiap hajat hidup orang
banyak berada di bawah tangan negara yang memiliki wewenang kekuasaan mengatur.
Akibatnya negara memiliki pengaruh untuk menentukan kebudayaan dan nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat. Kebergantungan nilai-nilai dengan kekuasaan
sangat besar, karena kekuasaan menentukan segalanya, karena itulah untuk
menjaga nilai-nilai keislaman tetap berkembang dan hidup di masyarakat,
idealnya memang Islam harus bersanding dengan kekuasaan, terutama bentuk
kekuasaan demokrasi moderen (legislaslatif, eksekutif, dan yudikatif) yang
umumnya berlaku di setiap negara di dunia. Namun, penulis berpendapat bahwa
lagi-lagi, penerapan hukum Islam itu tidak serta merta harus secara eksplisit
menggunakan Syari’ah (HukumIslam), namun akan lebih mudah beradaptasi dan
mendapatkan tempat bila nilai-nilai Syari’ah tersebut diterapkan secara
implicit (tersirat) dalam setiap peraturan perundang-undangan, maupun kebijakan
yang ada di negara tersebut.
Qardhawy melanjutkan dalam tulisannya: Imam Ibnu
Qayyim mengutip dari Imam Abi Wafa’ bin Aqil al-Hambali. menyatakan bahwa
politik adalah tindakan yang mendekatkan manusia kepada kebaikan dan
menjauhkannya dari kerusakan, selama tidak berlawanan dengan syariat. Para
ulama masa lalu memuji nilai dan keutamaan politik, sehingga Imam al-Ghazali
mengatakan dunia adalah lading akhirat, agama tidak akan sempurna kecuali
dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang dan
penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak punya tiang akan rubuh dan sesuatu
yang tidak dijaga akan hilang.
Para filsuf dan
cendekiawan klasik Islam telah lama menyadari perihal keutamaan bagi seorang
muslim untuk berpolitik dan atau mengelola kehidupan masyarakat agar menjadi
masyarakat madani sesuai dengan konsep dan cita-cita Islam dalam konteks
kehidupan sosial. Tetapi memang tidak bisa dipungkiri juga kalangan-kalangan
yang menerima dan menyakini keutamaan
berpolitik, dan atau mencatut simbol-simbol Islam dalam urusan berpolitik juga
ada pada era kontemporer ini.
Qardhawy melanjutkan: akan tetapi kebanyakan orang
di zaman kita sekarang dan di negeri kita sendiri, akibat penderitaan yang mereka
alami dikarenakan oleh politik, baik politik penjajah ataupun politik para penguasa yang khianat
dan zalim, mereka membenci politikus dan semua hal yang berhubungan dengannya.
Khususnya setelah falsafah Machiavelli mendominasi dan mengarahkan politiku.
Sehingga dikisahkan dari Syaikh Muhammad Abduh setelah beliau merasakan pahitnya
tipu daya dan maker politik, beliau mengungkapkan sebuah ungkapan yaitu “Saya
berlindung kepada Allah dari politik, dari penguasa dan yang dikuasai.”
Tidak diragukan lagi apatisme
masayarakat terutama ummat muslim sebagaian besar dikarenakan krisis
kepercayaan terhadap politik dan pemerintahan yang sampai hari ini belum mampu
membawa perbaikan sosial, ekonomi, hukum, dan segala aspek lainnya. Serta
perilaku korup penguasa yang oleh Qardhawi disebut penguasa yang zhalim dan
khianat semakin menambah rasa ketidak percayaan kepada politik akhir-akhir ini.
Islam telah
menetapkan musyawarah sebagai salah satu kaidah kehidupan, mewajibkan kepada
penguasa untuk berkonsultasi dan wajib bagi umat untuk menasihati (penguasa),
sehingga Islam menjadikan nasihat sebagai agama. DI antaranya nasihat kepada
pemimpin dan penguasa kaum muslimin. Penguasa menurut pandangan Islam adalah
wakil umat atau orang upahannya. Karena itu adalah hak orang yang mewakilkan
untuk meminta pertanggungjawaban dari wakilnya, atau mencabut hak perwakilan
bila diperlukan, khususnya bila sang wakil melalaikan tugasnya.
Dalam bukunya Qardhawi juga menjelaskan perihal perbedaan
substansi demokrasi memandang sumber kekuasaan dengan konsep Islam tentang
sumber kekuasaan: Pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan
pemerintahan rakyat dengan rakyat dan bertentangan dengan prinsip bahwa
kekuasaan hanya di tangan Allah. Prinsip kekuasaan rakyat yang merupakan fondasi
demokrasi, tidaklah bertentangan dengan prinsip kekuasaan Allah yang merupakan
fondasi Islami. Tapi, memang bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu dalam
pemerintahan diktator.
Dari penjelasan
Qardhawi dalam demokrasi rakyat masih memiliki kuasa terhadap pemimpin yang
dijadikan wakilnya dalam mengurusi pemerintahan, rakyat masih berhak untuk
menyampaikan pendapat, kritik, atau mengkoreksi pemimpin bila melakukan
kesalahan. Tetapi berbeda dengan pemerintahan diktator yang berkutat kepada
kekuasaan individu mutlak dan otoriter sangat tidak sesuai dengan perspektif
Islam melihat kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan di awal tema ini bahwa model
pemerintahan Fir’aun dan Namrud adalah contoh pemerintahan diktator yang
bertentangan dengan Islam.
Qardhawi menambahkan: rakyat bebas memilih
pemimpinya dan mengkoreksi tindak tanduknya, mereka boleh menolak perintah
penguasa bila bertentangan dengan UUD. Rakyat boleh menolak perintah Imam bila
perintah itu menyuruh untuk melakukan maksiat, rakyat berhak memecat pemimpinnya
bila menyimpang dan berlaku zalim, serta tidak pula menanggapi nasihat dan
peringatannya.
Hal ini memang sesuai
dengan nilai dasar dari demokrasi yang memberikan kebebasan dan kesetaraan bagi
setiap individu dalam negara. Tetapi tentunya kebebasan tersebut tetap dalam
batas-batas, koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Pendek kata aktivitas politik sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, atau dalam Islam sama sekali tidak melarang aktivitas politik. Karena interpretasi politik tidak hanya dipersempit secara harafiah ataupun praktis saja, politik itu bagian dari kehidupan manusia sebagaimana Islam hadir sesuai fitrah manusia berisi pedoman dan petunjuk. Ekspansi syiar Islam semakin dipermudah dan berbanding lurus ketika hegemoni kekuasaan Islam mencapai puncaknya. Hal ini didasari oleh nas-nas al-Qur'an serta sejarah Nabi Muhammad SAW banyak memberikan hikmah tentang kepemimpinan, negara, dan politik.
Selain itu secara substansial sistem demokrasi tidak melanggar nilai-nilai yang terdapat pada Islam. Perihal model atau konsep kepemimpinan, yang ditentang oleh Islam adalah kepemimpinan yang zhalim dan khianat terhadap amanat yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin, terlebih demokrasi memberikan ruangan komunikasi antara pemimpin dengan rakyatnya dan mengedepankan nilai-nilai permusyawaratan. Serta kepemimpinan diktator yang menitikberatkan kekuasaan kepada individu tertentu dengan kekuasaan tak terbatas dan otoriter, sama halnya dengan model kepemimpinan diktator klasik Fir'aun dan Namrud. Wallahu'alam..
0 Coment:
Posting Komentar